Pages

Sunday, July 30, 2023

Tantangan Ber-Pancasila dalam Kehidupan Global



Tantangan Ber-Pancasila dalam Kehidupan Global

Kita sedang berada pada abad ke-21. Abad ini ditandai dengan kemajuan teknologi yang sangat pesat. Pertukaran informasi, penggunaan internet, pemanfaatan data besar (big data), dan teknologi otomatisasi adalah fenomena yang dapat dirasakan, terutama yang berada di perkotaan. Sejauh memiliki perangkat elektronik (devices), seperti smartphone dan laptop ditambah dengan jaringan internet, dapat membawa kalian melanglang buana, berkomunikasi, berinteraksi dengan orang lain, bahkan dengan orang yang sangat jauh sekali.

Tiga puluh tahun lalu, akses dan penyebaran informasi tentu tidak secepat sekarang ini. Apalagi pada era kemerdekaan Indonesia, di mana teknologi masih sangat terbatas.

Fenomena ini tentu menjadi tantangan yang perlu kalian pecahkan. Mari kita membayangkan hal yang sederhana tentang pekerjaan. Pada tahun 1970an dan 1980an, orang yang memiliki mesin ketik dan kemampuan mengetik cepat akan dicari banyak orang, bisa menjadi pekerjaan yang dapat menghasilkan uang. Begitu juga menjadi loper koran pada tahun 1990an, merupakan pekerjaan yang bisa menghasilkan uang. Namun, jika kita hanya memiliki keterampilan itu pada masa sekarang, tentu tidak mudah mencari pekerjaan. Sebab, perkembangan teknologi sedemikian cepat, mengubah peluang dan tantangan zaman.
Banyak pekerjaan yang pada abad sebelumnya masih dibutuhkan, tetapi pada abad ini mulai tak lagi dibutuhkan. Salah satu komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pernah melaporkan bahwa sampai tahun 2030 akan ada 2 miliar pegawai di seluruh dunia yang kehilangan pekerjaan karena digantikan oleh teknologi. Di sisi lain, ada banyak jenis pekerjaan baru yang tidak ada pada abad ke-20.
Itulah salah satu tantangan yang mesti kita hadapi. Lalu, bagaimana tantangan tersebut berhubungan dengan konteks penerapan Pancasila? Mari kita lanjutkan pembahasannya lebih mendalam.

Diskusikan lebih mendalam dalam kelompok tentang tantangan- tantangan penerapan Pancasila dalam kehidupan global.
Masing-masing kelompok memilih satu topik untuk didiskusikan di kelompoknya. Setiap tantangan yang didiskusikan di masing-
masing kelompok, perlu dikaitkan dengan kehidupan masing-masing anggota. Misalnya, ketika kalian memilih topik “tantangan ideologi”, tantangan ideologi seperti apa yang sedang kalian rasakan?

Tantangan Ideologi

Pada era teknologi informasi ini, Pancasila akan diuji seiring dengan masuknya ideologi-ideologi alternatif yang merangsek dengan cepat ke sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Padahal, Pancasila adalah ideologi negara yang harus dipatuhi dan menjadi pemersatu bangsa. Lalu, bagaimana jika ideologi-ideologi lain masuk ke masyarakat Indonesia yang notabene sudah ber-Pancasila.
Beberapa ideologi yang mulai masuk ke dalam sendi-sendi kehidupan ber- bangsa dan bernegara adalah radikalisme, ekstremisme, dan terorisme. Kata radika- lisme seringkali diidentikkan dengan ekstremisme. Ekstremisme kekerasan (violent extremism) adalah pilihan sadar untuk menggunakan kekerasan atau untuk men- dukung penggunaan kekerasan demi meraih keuntungan politik, agama, dan ideologi. Ekstremisme kekerasan juga dapat dimaknai sebagai sokongan, pelibatan diri, penyiap- an, atau paling tidak, dukungan terhadap kekerasan yang dimotivasi dan dibenarkan secara ideologis untuk meraih tujuan-tujuan sosial, ekonomi, dan politik.

Sementara itu, terorisme dalam UU Nomor 15 Tahun 2003 didefinisikan sebagai penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan situasi teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas dan menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas harta benda orang lain, yang mengakibatkan kerusakan atau kehancuran objek-objek vital strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, dan fasilitas internasional.
Sebagaimana kita tahu, ideologi radikalisme, ekstremisme, dan terorisme mulai menjangkiti bangsa Indonesia. Ideologi tersebut tentu saja tidak tumbuh dari tradisi luhur bangsa Indonesia karena Indonesia memiliki budaya luhur, seperti kekeluargaan, tenggang rasa, gotong royong, dan lain sebagainya.
Selain itu, yang tak kalah membahayakan, adalah konsumerisme. Konsumerisme adalah paham terhadap gaya hidup yang menganggap barang-barang (mewah) sebagai ukuran kebahagiaan, kesenangan, dan sebagainya. Dapat dikatakan pula konsumerisme adalah gaya hidup yang sifatnya tidak hemat. Sering kita saksikan di televisi ataupun media sosial perilaku-perilaku konsumtif yang berlebihan. Orang-orang yang terpapar ideologi ini cenderung akan senang dan bahagia membeli sesuatu, sekalipun tidak dibutuhkan. Tujuannya bisa beragam, mulai dari pamer, gengsi, mencari perhatian, hingga sekedar ikut-ikutan. Akibatnya, demi mencapai kebahagiannya yang terletak pada aktivitas membeli barang/sesuatu itu, seseorang bisa melakukan apa saja, sekalipun melanggar norma dan konstitusi.
Ekstremisme, radikalisme, terorisme, dan konsumerisme ini tentu bertentangan dengan Pancasila.

Hoaks dan Post Truth

Salah satu dampak lain dari meningkat pesatnya teknologi informasi adalah banjirnya informasi. Sebelum era media sosial seperti sekarang, informasi disampaikan hanya melalui lembaga-lembaga tertentu, baik dalam siaran radio, televisi, dan website. Namun, pada era sekarang ini, setiap dari kita menjadi konsumen dan produsen informasi sekaligus. Disebut konsumen, karena kita juga menerima dan menyerap beragam informasi dari berbagai kanal, baik berupa radio, televisi, maupun media sosial, seperti facebook, twitter dan Youtube. Kita semua juga bisa menjadi produsen informasi karena kita menyiarkan apa yang kita ketahui kepada publik luas melalui media sosial yang kita punya.
Dampaknya apa? Pertama, karena banjirnya informasi tersebut, kita disuguhi bermacam-macam informasi, baik yang penting ataupun yang tidak penting, baik yang valid kebenarannya ataupun yang tidak. Berada di dalam dunia teknologi informasi yang sangat pesat, ibarat kita berada dalam hutan belantara: kita bisa menjumpai apapun, mulai dari yang kita butuhkan sampai hal-hal yang tidak kita butuhkan, mulai dari hal yang bermanfaat sampai hal yang berbahaya. Akibatnya, kita seringkali kebingungan menentukan mana jalan keluar dan mana jalan yang menyesatkan.

Karena itulah, banyak kita jumpai beredarnya hoaks atau informasi palsu di media sosial kita. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah mengidentifikasi 3.901 berita palsu atau berita bohong (hoaks) selama periode Agustus 2018 hingga November 2019. Ini tentu berbahaya. Dalam ilmu komputer dikenal istilah garbage in, garbage out, artinya, jika yang kita terima atau kita konsumsi adalah sampah, sampah pulalah yang kita keluarkan.
Kedua, dampak lanjutan dari beredarnya hoaks tersebut, membawa kita pada suatu kondisi yang disebut dengan post-truth (pasca-kebenaran). Dalam kamus Oxford, makna post-truth adalah dikaburkannya publik dari fakta-fakta objektif. Post-truth adalah kondisi di mana fakta objektif tidak lagi memberikan pengaruh besar dalam membentuk opini publik, tetapi ditentukan oleh sentimen dan kepercayaan. Dalam anggapan mereka, kebenaran itu adalah hal-hal yang disampaikan berulang-berulang, sekalipun salah.
Misalnya, ketika seseorang membenci kelompok tertentu, berita tentang keburukan dari kelompok tertentu akan dianggap sebagai kebenaran, tak peduli siapa pembuat berita, tak mengecek apakah beritanya benar atau tidak. Sebaliknya, jika ada informasi- informasi baik tentang kelompok yang dibenci tersebut tidak dipercayainya, sekalipun itu benar dan valid.
Ketiga, dampak yang lebih jauh adalah masyarakat mudah diprovokasi, diadu domba, dihasut, dan ditanamkan benih kebencian melalui informasi-informasi palsu yang terus-menerus disampaikan sehingga dianggap sebagai kebenaran. Akibatnya, permusuhan sesama bangsa Indonesia, kebencian kepada bangsa lain, upaya untuk memecah belah bangsa, dan sejumlah dampak negatif lainnya, dapat dengan mudah terjadi di tengah-tengah kita.

Tantangan Global

Betul bahwa kita semua adalah warga negara Indonesia. Itu dapat ditandai dengan sejumlah identitas ke-Indonesia-an, mulai dari Kartu Tanda Penduduk, Bendera Merah Putih, lambang Garuda Pancasila, bahasa Indonesia, serta bahasa daerah yang digunakan.
Selain sebagai warga negara Indonesia, kita juga menjadi warga negara dunia. Indonesia sebagai negara dan bangsa tidak dapat mengisolasi diri, tidak bergaul, dengan bangsa-bangsa lain dari negara lain. Terlebih dengan bantuan teknologi informasi, sekat-sekat batas negara itu menjadi tipis. Ketika kita dapat menggunakan bahasa internasional, seperti bahasa Inggris, tentunya kita dapat berinteraksi dengan bangsa- bangsa lain yang menggunakan bahasa yang sama.
Tak hanya berkomunikasi, pada saat bersamaan, kita juga bersaing dengan bangsa- bangsa lain. Persaingan ini juga terjadi dalam bidang pekerjaan. Karena itu, kita harus memiliki kompetensi dan keterampilan yang setara dengan bangsa-bangsa lain sehingga dapat bersaing pada abad ke-21 ini. Lalu, keterampilan apa saja yang dibutuhkan pada abad ke-21 ini?



Untuk dapat bersaing dan berkontribusi dengan baik dalam skala global pada abad ke-21 ini, kita perlu memiliki sejumlah kecakapan: literasi, kompetensi, dan karakter. Pada abad ini, kita tidak cukup hanya pintar, menghafal teori-teori, rumus-rumus, dan definisi-definisi, tetapi juga perlu memiliki kompetensi untuk memecahkan masalah, melakukan kolaborasi dan kerja sama. Kalian juga perlu karakter untuk terus belajar dan gigih sehingga bisa beradaptasi dengan segala perubahan yang terjadi.
Tak hanya terkait dengan kompetensi penting pada abad ke-21, dunia hari ini menghadapi sejumlah tantangan global yang tidak bisa diselesaikan sendiri-sendiri. Krisis lingkungan, pemanasan global, pandemi, kekerasan, dan perang global, adalah beberapa contoh tantangan global yang tidak bisa ditangani sendiri, melainkan membutuhkan kerja sama dan kolaborasi lintas negara dengan melibatkan semua pihak.


Rangkuman
  • Perkembangan teknologi informasi memiliki dampak positif sekaligus tantangan bagi eksistensi ideologi Pancasila. Dengan segala kemudahan akses informasi, menjadikan banyak ideologi yang tidak sejalan dengan Pancasila dapat dengan mudah masuk ke masyarakat Indonesia, contohnya radikalisme, ekstrimisme, dan terorisme, yang mengancam persatuan Indonesia.
  • Pada era digital, setiap orang dapat menjadi produsen sekaligus konsumen informasi. Dalam situasi saat ini, masyarakat mengalami kesulitan untuk mendapatkan informasi yang valid dikarenakan yang banyak beredar adalah post truth yang dapat mengancam keutuhan bangsa Indonesia.
  • Sebagai warga Indonesia yang menjunjung tinggi nila-nilai Pancasila, kita juga tidak terlepas dari peran sebagai warga dunia yang menuntut kita harus mampu bersaing di kancah global dengan cara membekali diri agar memiliki sejumlah kecakapan: literasi, kompetensi, dan karakter.




No comments:

Post a Comment