Pages

Wednesday, July 19, 2023

Peta Pemikiran Pendiri Bangsa tentang Pancasila - Fase F (Kelas XI)

 Peta Pemikiran Pendiri Bangsa tentang Pancasila

Ucke R Gadzali, S.Pd.


Buku

Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan


Sebagaimana disebutkan dalam buku PPKn Kelas X, ada banyak anggota BPUPK yang turut menyampaikan pidato pada sidang pertama yang membahas tentang dasar negara Indonesia merdeka. Tak hanya Moh. Yamin, Soepomo, dan Soekarno yang menyampaikan pidato waktu itu, melainkan juga ada Hatta, H. Agus Salim, Ki Bagoes Hadikoesoemo, dan lain-lain. Diskusi dan saling menanggapi, bahkan saling sanggah, terjadi selama persidangan.

Hal tersebut tentu sebuah kewajaran, bahkan keharusan. Disebut kewajaran karena setiap orang niscaya memiliki pemikiran yang berbeda-beda akibat pengaruh perbedaan latar belakang, sudut pandang, cita-cita, dan lain sebagainya. Bahkan, disebut keharusan karena yang menjadi subjek pembicaraan adalah negara besar, tidak hanya dari aspek geografis dan jumlah populasi, melainkan juga kaya akan sumber daya alam dan tradisi. Pada titik ini, diskusi, saling menanggapi, bahkan saling sanggah dalam persidangan adalah wujud demokrasi. Namun demikian, para anggota BPUPK—serta para pendiri bangsa lainnya yang tidak tergabung dalam BPUPK—memiliki cita-cita yang sama, yakni kemerdekaan, persatuan, dan kejayaan Indonesia.

Sebagaimana dalam uraian buku Kelas X, tampak jelas bahwa Soekarno memiliki peran besar dalam merumuskan dasar negara. Ia bukan saja memperkenalkan nama Pancasila terhadap lima konsep yang disampaikan dalam sidang BPUPK. Lebih dari itu, kelima konsep yang disampaikan menjadi rujukan penting dalam pembahasan- pembahasan berikutnya, terutama dalam Panitia Sembilan.

Namun demikian, kontribusi pemikiran sejumlah tokoh lainnya tidaklah sedikit. Usulan Soepomo, misalnya, terkait bentuk negara integralistik serta struktur sosial bangsa Indonesia juga menjadi kerangka penting dalam merumuskan negara merdeka. Begitu juga dengan anggota BPUPK lainnya.

Tak hanya pada sidang pertama BPUPK, perbincangan tentang dasar negara terus dimatangkan, baik dalam Panitia Kecil maupun pada saat sidang kedua BPUPK. Hasil dari Panitia Kecil yang dibentuk setelah sidang pertama BPUPK, dicapainya kesepakatan 2, antara, yang oleh Soekarno disebut sebagai, “kelompok Islam” dan “kelompok kebangsaan”, sebagaimana yang tertulis dalam Preambule, atau Mukaddimah. Hasil kesepakatn ini dibacakan oleh Soekarno sebagai ketua Panitia Kecil dihadapan sidang BPUPK yang kedua. Pada sidang kedua ini, anggota BPUPK banyak mendiskusikan soal bentuk negara, ketimbang soal dasar negara.
Perbincangan tentang dasar negara kembali mengemuka pada saat sidang PPKI yang berlangsung sehari setelah kemerdekaan Indonesia, 18 Agustus 1945. Fokus pembicaraan pada saat itu adalah soal “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Pada bagian ini, kalian akan mempelajari peta pemikiran para pendiri bangsa tentang dasar negara, tidak hanya yang muncul pada saat era BPUPK ataupun PPKI, tetapi juga setelahnya, termasuk soal bagaimana para pendiri bangsa memaknai Pancasila.

a. Soekarno

Dalam buku Kelas X telah diuraikan cuplikan pidato Soekarno dalam sidang pertama BPUPK. Soekarno mengusulkan lima dasar bagi Indonesia merdeka. Dia pula yang mengusulkan penamaan Pancasila terhadap kelima dasar yang diusulkan tersebut.
Berikut 5 dasar usulan Soekarno, beserta penjelasannya:

1) Kebangsaan Indonesia
Soekarno menjelaskan bahwa kebangsaan di sini bukan dalam arti sempit, tetapi dalam arti luas yakni, nationale staat. Soekarno kemudian memberikan definisi “bangsa” dengan mengutip pendapat Ernest Renan, yaitu “kehendak akan bersatu, Orang-orangnya merasa diri bersatu dan mau bersatu”. Soekarno juga mengutip pendapat Otto Bauer yang mendefinisikan bangsa “adalah satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib”. Namun, kedua definisi ini dirasa oleh Soekarno tidak cukup untuk menggambarkan kebangsaan Indonesia. Pasalnya, Soekarno memberikan contoh bangsa Minangkabau. Sesama bangsa Minangkabau merasa satu kesatuan, merasa satu keluarga. Namun, hal tersebut hanyalah satu bagian kecil dari satu kesatuan.
Pendek kata, Soekarno menjelaskan bahwa bangsa Indonesia bukanlah sekadar satu golongan orang yang memiliki keinginan untuk bersama dan bersatu dengan golongannya, tetapi harus menjadi satu kesatuan seluruh manusia Indonesia yang berbangsa-bangsa dan tinggal di pulau-pulau Indonesia. Soekarno mengatakan:
Kebangsaan Indonesia. Kebangsaan Indonesia jang bulat! Bukan kebangsaan Djawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali, atau lain- lain, tetapi kebangsaan Indonesia, yang bersama-sama menjadi dasar satu nationale staat.
Namun, kata Soekarno, kebangsaan Indonesia jangan terjebak pada chauvi- nisme, paham yang menempatkan bangsanya paling tinggi di antara bangsa- bangsa dunia, sekaligus memandang bangsa-bangsa lain lebih rendah. Soekarno mengatakan:
Jangan kita berdiri diatas azas demikian, tuan-tuan, jangan berkata, bahwa bangsa Indonesialah yang terbagus dan termulia, serta meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia.

Dengan demikian, dasar yang pertama ini tidak lah cukup, melainkan membutuhkan dasar kedua, yakni Internasionalisme atau perikemanusiaan.

2) Internasionalisme atau perikemanusiaan
Internasionalisme di sini, kata Soekarno, tidak bermakna kosmopolitanisme, sebuah paham yang menganggap bahwa seluruh manusia adalah satu komunitas tunggal yang memiliki moralitas yang sama. Jika seperti ini, kata Soekarno, maka “tidak ada Indonesia, tidak ada Nippon, tidak ada Birma, tidak ada Inggris, tidak ada Amerika, dan lain-lainnya”.
Karena itulah, internasionalisme harus berakar pada nasionalisme. Soekarno mengatakan, “Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman-sarinya internasionalisme”. Dengan demikian, dasar pertama, kebangsaan Indonesia, harus bergandengan tangan dengan dasar kedua, internasionalisme. Soekarno mengutip pendapat Mahatma Gandhi, “Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan."

3) Mufakat atau demokrasi
Soekarno mengatakan, “Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara, 'semua buat semua, satu buat semua, semua buat satu.' Saya yakin, bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusya- waratan, perwakilan.” Dasar yang ketiga inilah, menurut Soekarno, menjadi tempat terbaik untuk memelihara agama Islam. Sehingga, jika ada yang belum memuaskan, permusyawaratan inilah yang harus dilakukan. Soekarno memberikan tanggapan terhadap perdebatan alot di antara anggota BPUK tentang apakah Indonesia akan berdasarkan Islam atau tidak.
Soekarno mengatakan:
Badan perwakilan, inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Di sinilah kita usulkan kepada pemimpin-pemimpin rakyat, apa-apa yang kita rasa perlu bagi perbaikan. Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar supaya sebagian yang terbesar dari pada kursi-kursi Badan Perwakilan Rakjat yang kita adakan, diduduki oleh utusan-utusan Islam.

4) Kesejahteraan Sosial
Prinsip keempat yang diusulkan Soekarno adalah kesejahteraan sosial. Menurut Soekarno, prinsip keempat ini belum ada yang membicarakan selama sidang pertama BPUPK. Kesejahteraan sosial di sini, menurut Soekarno, “tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka”. Prinsip ini dikaitkan oleh Soekarno dengan prinsip ketiga. Karena itulah, Soekarno berpesan:
Kalau kita mentjari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusjawaratan yang memberi hidup, yakni politik-ekonomi-demokrasi yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial.

Soekarno mengingatkan, “Di Amerika ada suatu Badan Perwakilan Rakyat, dan tidakkah di Amerika kaum kapitalis merajalela? Tidakkah di seluruh benua Barat kaum Kapitalis merajalela? Padahal ada Badan Perwakilan Rakyat!" Karena itulah, demokrasi yang dianut tidak hanya berkaitan dengan politik, tetapi juga berkaitan dengan kesejahteraan sosial, dan ekonomi.

5) Ketuhanan
Prinsip kelima yang diusulkan Soekarno adalah Ketuhanan. “Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber- Tuhan,” ujar Soekarno. “Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan,” kata Soekarno. Apa maksud ber-Tuhan secara kebudayaan atau keadaban itu? Ialah hormat-menghormati satu sama lain. Soekarno pun menyinggung bagaimana Nabi Muhammad dan Nabi Isa memberikan bukti yang cukup tentang hormat- menghormati. Karena itulah, ketuhanan yang berkebudyaan di sini dimaknai oleh Soekarno sebagai ketuhanan yang berbudi pekerti, yang luhur, ketuhanan yang menghormati sama lain. Dengan prinsip kelima inilah, semua agama dan kepercayaan mendapatkan tempat yang baik.

Kelima dasar tersebut oleh Soekarno, diberi nama Pancasila. Namun, jika sekiranya kelima dasar tersebut dirasa kurang cocok, Soekarno kemudian memeraskan menjadi tiga, (trisila): Sosio-Nasiolisme, Sosio-Demokratik, dan Ketuhanan. Jika pun ketiga dasar ini dirasa kurang cocok, Soekarno mengusulkan satu dasar (ekasila), yang diperas dari ketiga dasar tersebut, yaitu Gotong Royong.



b. Moh. Yamin

Mohammad Yamin menyuguhkan lima usulan tentang dasar negara Indonesia merdeka. Bagai- mana penjelasan Moh. Yamin terhadap masing- masing usulan tersebut? Berikut penjelasannya.

1) Peri Kebangsaan
Menurut Yamin, ada tiga hal yang harus dilakukan terkait dengan kebangsaan Indonesia yang berkeinginan untuk merdeka, yaitu (1) mengenai pekerjaan anggota untuk mengumpulkan segala bahan-bahan untuk pembentukan negara, (2) mengenai Undang- Undang Dasar Negara, (3) usaha yang harus dilakukan untuk menjadikan Indonesia merdeka sesuai dengan keinginan rakyat.
Peri kebangsaan ini berkaitan dengan paham nasionalisme. Nasionalisme dalam negara Indonesia merdeka berbeda dengan usaha rakyat sewaktu mendirikan negara Syailendera Sriwijaya (600-1400),

Disclaimer
Pemikiran Moh. Yamin tentang Dasar Negara di sini merujuk kepada
Naskah Persiapan, yang ditulis oleh Moh. Yamin. Sebagaimana dijelaskan dalam buku Kelas X, ada perbedaan versi antara yang tertera dalam Naskah Proklamasi dengan Koleksi Pringgodigdo

juga berbeda dengan kerajaan Majapahit (1293-1525). Bagi Yamin, paham atau falsafah tentang kedatuan atau keprabuan sebagaimana pada masa Sriwijaya dan Majapahit tidak dapat diberlakukan dalam negara Indonesia.
Sebuah negara, menurut Yamin, berkaitan dengan tanah air, bangsa, kebudaya- an, dan kemakmuran. Ia ibarat setangkai bunga yang berhubungan dengan dahan, daun, dan cabang. Karena itu, Yamin menyarankan agar tatanan negara Indonesia berbeda dengan negara luar, karena aturan-aturan dasar negara Indonesia perlu merujuk kepada tradisi, adat, agama, dan otak Indonesia, bukan merujuk kepada negara lain.

2) Peri Kemanusiaan
Ketika mengemukakan poin ini, Yamin tidak langsung menjelaskan makna dari peri kemanusiaan. Yamin mengatakan bahwa pergerakan Indonesia merdeka tidak saja berkaitan dengan perlawanan terhadap penjajah, melainkan juga upaya untuk menyusun masyarakat baru dalam suatu negara. Tujuan Indonesia merdeka sudah sama artinya dengan dasar kemanusiaan yang berupa dasar kedaulatan rakyat atau kedaulatan negara.
Kedaulatan rakyat Indonesia dan Indonesia merdeka berdasarkan peri kemanusiaan yang universal, berisikan tentang humanisme dan internasionalisme bagi segala bangsa. Dasar peri kemanusiaan adalah dasar hukum internasional dan peraturan kesusilaan sebagai bangsa dan negara yang merdeka.

3) Peri Ketuhanan
Poin ketiga yang disampaikan oleh Yamin adalah ketuhanan. Yamin tidak mem- berikan penjelasan panjang lebar terkait dengan hal ini. Yamin hanya mengatakan bahwa bangsa Indonesia merdeka adalah bangsa yang berkeadaban luhur, dan peradabannya memiliki Ketuhanan Yang Maha Esa. Tuhan akan melindungi negara Indonesia merdeka itu.

4) Peri Kerakyatan,
Yamin memberikan ilustrasi cukup panjang tentang poin ini. Peri kerakyatan ini memiliki anak poin lagi, yaitu permusyawaratan, perwakilan, dan kebijakan. Terhadap anak poin tersebut, Yamin banyak merujuk kepada kitab suci umat Islam, al-Qur’an.
Ketika membahas tentang permusyawaratan, Yamin mengutip ayat al-Qur’an surat As-Syuara ayat 38, juga merujuk kepada sejarah Nabi Muhammad dan para sahabat, yang kesemuanya dijadikan dasar perlunya permusyawaratan. Yamin juga mengambil dasar permusyawaratan dari sifat-sifat peradaban asli Indonesia (pra- sejarah), di mana nenek moyang kita sudah terbiasa melakukan musyawarah.

Anak poin kedua adalah perwakilan. Menurut Yamin, sifat utama dari susun- an masyarakat ialah adanya sistem perwakilan. Mohammad Yamin melihat bahwa despotisme dan feodalisme merupakan penyakit yang menghinggapi peradaban Indonesia yang harus disingkirkan. Bagi Yamin, untuk mewujudkan negara Indonesia yang sesuai dengan kehendak rakyatnya, maka perwakilan perlu dilakukan.
Anak poin ketiga adalah jalan kebijaksanaan, yang oleh Yamin diterjemahkan menjadi rasionalisme. Hikmah dari kebijaksanaan yang menjadikan pemimpin rakyat Indonesia ialah rasionalisme yang sehat, karena telah melepaskan diri dari anarki, liberalisme, dan semangat penjajahan.

5) Kesejahteraan Rakyat
Tidak banyak yang dijelaskan Yamin mengenai kesejahteraan rakyat ini. Ia hanya mengatakan bahwa perubahan besar yang terjadi dalam diri bangsa Indonesia berhubungan langsung dengan dilantiknya negara baru. Selain itu, mengenai kehidupan ekonomi sosial bangsa Indonesia, Mohammad Yamin membicarakan persoalan tentang kesejahteraan rakyat atau keadilan sosial yang dikaitkan dengan daerah negara. Secara puitis, Yamin mengatakan bahwa Garuda Negara Indonesia yang hendak terbang membumbung tinggi melalui daerah yang terhampar dari Gentingan kra di Semenanjung Melayu dan Pulau Weh di puncak utara Sumatera sampai ke kandang Sampan Mangio di kaki Gunung Kinabu dan Pulau Palma Sangihe di sebelah utara Sulawesi.

c. Soepomo

Sebagai pakar hukum, Soepomo mula-mula berbicara tentang syarat-syarat berdirinya suatu negara berdasarkan konstitusi. Menurutnya, syarat pertama adalah daerah. Terhadap hal ini, Soepomo sepakat bahwa daerah Indonesia meliputi batas Hindia- Belanda. Kedua, rakyat sebagai warga negara. Artinya, siapapun yang memiliki kebangsaan Indonesia, maka dengan sendirinya bangsa Indonesia asli. Bangsa peranakan, Tionghoa, India, Arab yang telah turun temurun tinggal di Indonesia, dan mempunyai kehendak yang sungguh-sungguh untuk bersatu dengan bangsa Indonesia yang asli, maka ia harus diterima sebagai warga negara Indonesia. Ketiga, pemerintahan yang berdaulat menurut hukum internasional.
Kemudian, Soepomo berbicara tentang dasar negara Indonesia dengan mengutip sejumlah teori, seperti teori perseorangan yang dikembangkan oleh Thomas Hobbes dan John Locke, teori golongan (class theory) dari Karl Marx, Engels, dan Lenin, serta teori integralistik yang diajarkan oleh Spinoza, Adam Muller, dan Hegel.
Setiap negara, menurut Soepomo, harus sesuai dan menggambarkan struktur sosial, karakteristik masyarakat. Negara Indonesia merdeka tidak seharusnya dibangun dengan menjiplak masyarakat di luar Nusantara. Corak dan bentuk negara itu harus disesuaikan dengan perikehidupan masyarakat yang nyata. Menurut Soepomo, struktur sosial bangsa Indonesia itu ditopang oleh semangat persatuan hidup, semangat kekeluargaan, keseimbangan lahir batin masyarakat, yang senantiasa bermusyawarah dengan rakyatnya demi menyelenggarakan keinsyafan keadilan rakyat. Pokok pemikiran Soepomo tersebut oleh Nugroho Notosutanto ditafsirkan bahwa Soepomo mengajukan lima dasar bagi negara merdeka.

1) Persatuan,
Persatuan yang dimaksudkan oleh Soepomo adalah persatuan hidup, persatuan kawulo dan gusti, persatuan antara dunia luar dan dunia batin, antara mikrokosmos dan makrokosmos, antara pemimpin dan rakyatnya. Soepomo sangat menekankan adanya persatuan pemimpin dengan rakyatnya. Karena itulah, pejabat negara, menurut Soepomo, ialah pemimpin yang bersatu-jiwa dengan rakyat, dan para pejabat negara itu senantiasa memegang teguh persatuan dan keseimbangan dalam masyarakatnya.

2) Kekeluargaan,
Karakteristik sosial bangsa Indonesia adalah kekeluargaan, sehingga hal ini perlu menjadi dasar bagi Indonesia merdeka. Soepomo mengkritik apa yang disebutnya “kebudayaan Barat”. Menurut Soepomo, orang Barat berpegang pada prinsip perseorangan (individualisme). Individualisme ini yang menyebabkan bangsa- bangsa Eropa pada keangkaramurkaan, ia dapat bersaing dengan sangat keras dan saling menjatuhkan. Sementara, orang Timur tidak mengenal individualisme. Dalam budaya Timur, sebagaimana Indonesia, semua orang dianggap sebagai anggota keluarga. Semua pekerjaan dijalankan secara bersama-sama. Oleh karena itu, negara Indonesia merdeka harus diselenggarakan atas dasar kekeluargaan dan gotong-royong.

3) Keseimbangan lahir dan batin,
Setiap manusia, menurut Soepomo, dalam pergaulan sosial memiliki kewajiban hidup (dharma) sendiri menurut kodrat alamnya, yang kesemuanya itu ditujukan untuk mencapai keseimbangan lahir dan batin. Batin di sini berkaitan dengan agama, keyakinan, atau kepercayaan yang dimiliki masyarakat Indonesia, yang dapat menjadikan petunjuk jalan dalam kehidupannya. Sementara lahir berarti hal-hal tampak, ragawi, dan fisikal. Keduanya tidak dapat dipisahkan.

4) Musyawarah,
Menurut Soepomo, masyarakat Indonesia sudah terbiasa melakukan musyawarah sejak dahulu kala. Karena itu, pemimpin negara Indonesia, menurut Soepomo, hendaknya bermusyawarah dengan rakyatnya, atau dengan kepala-kepala keluarga dalam desa, agar terwujud pertalian antara pemimpin dan rakyat.

5) Keadilan rakyat.
Setiap pemimpin, mulai dari kepala desa, menurut Soepomo, harus bertindak sesuai dengan prinsip keadilan dan cita-cita rakyatnya.


Soepomo hanya sedikit menyinggung kelima dasar di atas, selebihnya Soepomo berbicara tentang bentuk negara Indonesia merdeka. Dalam imajinasi Soepomo, negara merdeka itu haruslah suatu “negara totaliter”, seperti Jerman di bawah pimpinan Adolf Hitler atau Jepang di bawah kaisar Tennoo Heika. Maksud dari “negara totaliter”, yang oleh Soepomo disebut dengan “bentuk integralistik”, ialah suatu negara yang meniadakan perbedaan antargolongan masyarakat, meleburkan seluruh golongan ke dalam satu zat, yaitu rakyat yang bersatu jiwa dengan pemimpinnya
Pemimpin Indonesia yang dibayangkan oleh Soepomo seperti “Ratu Adil”, sesosok raja dalam mitos orang Jawa yang akan menyelamatkan seluruh rakyat dari marabahaya. Karena itulah, Soepomo menganjurkan bahwa “dalam Negara Indonesia itu hendaknya dianjurkan supaya para warga negara cinta kepada tanah air, ikhlas akan diri sendiri, dan suka berbakti kepada tanah air; supaya mencintai dan berbakti kepada pemimpin dan kepada negara; supaya takluk kepada Tuhan, supaya tiap-tiap waktu ingat kepada Tuhan”.

d. Moh. Hatta

Menurut Moh. Hatta, Pancasila sebenar- nya tersusun atas dua dasar. Pertama, berkaitan dengan moral, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Kedua, berkaitan dengan aspek politik, yaitu kemanusiaan, persatuan Indonesia, demokrasi kerakyatan, dan keadilan sosial.
Ketuhanan, menurut Hatta, menjadi dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan Indonesia untuk menyelenggarakan segala yang baik bagi rakyat dan masyarakat. Kemanusiaan menegaskan pentingnya perbuatan yang baik dalam penyelenggaraan pemerintah, sehingga ia menjunjung tinggi nilai-nilai kemanu- siaan. Persatuan Indonesia menegaskan sifat negara Indonesia sebagai negara nasional yang satu, tidak terbagi-bagi ke
dalam ideologi, golongan, dan kelompok tertentu. Dasar kerakyatan menegaskan bahwa apa yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan kemauan, kehendak, dan aspirasi rakyat. Dasar keadilan sosial merupakan pedoman dan tujuan bagi adanya Indonesia.
Hatta menolak gagasan negara integralistik atau negara totaliter, sebagaimana yang diusulkan oleh Soepomo. Menurut Hatta, negara integralistik memberikan peluang dan legitimasi terhadap adanya kekuasaan mutlak negara, karena negara dan rakyat menjadi satu, tidak terpisahkan. Hatta lebih setuju dengan negara kesatuan yang bersendi demokrasi dan dibatasi oleh konstitusi. Dengan bersendi demokrasi, maka dalam negara kesatuan, kekuatan terbesar ada pada rakyat. Di sini, rakyat mendapatkan haknya untuk menyuarakan pendapatnya melalui lembaga-lembaga demokrasi.
Hatta menolak demokrasi yang bertumpu pada kepentingan feodal, ataupun kepentingan satu golongan yang menindas golongan lain. Demokrasi politik saja, tidak melaksanakan persamaan dan persaudaraan, sehingga ia juga harus ditopang dengan demokrasi ekonomi.
Cita-cita demokrasi Indonesia adalah demokrasi sosial yang meliputi seluruh lingkungan hidup yang menentukan nasib manusia. Cita-cita keadilan sosial harus dijadikan program untuk dilaksanakan dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sumber demokrasi sosial Indonesia adalah paham sosialisme Barat, sebagai dasar perikemanusiaan; ajaran Islam sebagai dasar menuntut kebenaran dan keadilan ilahi dalam masyarakat serta persaudaraan antarmanusia sebagai mahkuk Tuhan; masyarakat Indonesia berdasarkan kolektivisme menjadi dasar tolong menolong dan gotong royong.

 Disclaimer
Sebelum mengulas tentang pemikiran Moh. Hatta, perlu disampaikan bahwa pokok-pokok pemikiran Hatta ini tidak langsung merujuk ke naskah pidato Moh. Hatta di BPUPK, karena tidak tersedianya di Naskah Persiapan yang dibuat oleh Yamin. Karena itu, pokok-pokok Hatta tentang Dasar Negara merujuk kepada sumber- sumber lain, baik pidato-pidato Hatta sebelum ataupun setelah Indonesia merdeka, maupun artikel ilmiah yang mengulas tentang pemikiran Moh. Hatta.
Rangkuman
  • Para pendiri bangsa, baik yang tergabung maupun yang tidak tergabung dalam BPUPK, memliki kesamaan cita-cita terhadap bangsa Indonesia, yaitu kemerdekaan, persatuan, dan kejayaan.
  • Nama Pancasila pertama kali diperkenalkan oleh Soekarno, yang digunakan sebagai dasar negara.
  • Di awal kemerdekaan Indonesia, sidang PPKI berfokus pada ketuhanan dan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.
  • Dalam sidang BPUPK pertama, Soekarno awalnya mengusulkan 3 rancangan dasar negara, yaitu Pancasila yang terdiri dari 5 dasar negara (kebangsaan Indonesia, internasionalisme dan perikemanusiaan, mufakat dan demokrasi, kesejahteraan sosial dan ketuhanan); Trisila (sosio-nasiolisme, sosio-demokratik, dan ketuhanan) dan yang terakhir adalah Ekasila (gotong royong).

BAHAN BACAAN GURU & PESERTA DIDIK
Bahan Bacaan
Sebagai dasar negara, Pancasila tentu tidak cukup hanya tertera dalam sejumlah dokumen negara, tidak juga diperingati melalui upacara dan kegiatan lainnya. Untuk menelaah bagaimana penerapan Pancasila dalam praktik bernegara, perlu diketahui bahwa dalam ideologi Pancasila, menurut Moerdiono, terdapat tiga tataran nilai.
1. Nilai Dasar, suatu nilai yang bersifat abstrak dan tetap, terlepas dari pengaruh perubahan ruang dan waktu. Nilai dasar mencakup cita-cita, tujuan, tatanan dasar, dan ciri khasnya. Nilai dasar itu berbunyi lima sila dalam Pancasila. Nilai-nilai dasar dari Pancasila tersebut meliputi nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, nilai persatuan Indonesia, nilai kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat serta nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
  • Nilai Instrumental, nilai yang bersifat kontekstual. Nilai instrumental merupakan penjabaran dari nilai-nilai Pancasila, berupa arahan kinerja untuk kurun waktu tertentu dan untuk kondisi tertentu. Dari kandungan nilainya, maka nilai instrumental merupakan kebijaksanaan, strategi, organisasi, sistem, rencana, program, bahkan proyek-proyek yang menindaklanjuti nilai dasar. Lembaga negara yang berwenang menyusun nilai instrumental ini adalah MPR, Presiden, dan DPR.
  • Nilai Praksis, adalah nilai yang terdapat dalam kenyataan hidup sehari-hari, baik dalam konteks kehidupan bermasyarakat maupun bernegara. Nilai praksis adalah wujud dari penerapan nilai-nilai Pancasila, baik secara tertulis maupun tidak tertulis, baik dilakukan oleh lembaga negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) maupun oleh organisasi masyarakat, bahkan warga negara secara perseorangan. Pada praktiknya, nilai instrumental dan nilai praksis harus mengacu dan tidak boleh bertentangan dengan nilai dasar. Nilai praksis tidak boleh bertentangan dengan nilai instrumental. Wujud dari nilai instrumental tersebut berupa Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah.





No comments:

Post a Comment