Sunday, September 25, 2022

Konstitusi UUD NRI Tahun 1945

Konstitusi UUD NRI Tahun 1945

Konstitusi merupakan pernyataan tentang bentuk dan susunan suatu negara, yang  dipersiapkan sebelum atau sesudah berdiri sebuah negara. Konstitusi sebuah negara  merupakan hukum dasar tertinggi yang berisi tata penyelenggaraan negara. Perubahan sebuah konstitusi akan membawa perubahan besar terhadap sebuah negara. 

Bahkan termasuk sistem bernegara, yang semula demokratis bisa menjadi otoriter  disebabkan perubahan konstitusi.  Konstitusi merupakan hukum yang paling tinggi serta paling fundamental sifatnya. Konstitusi merupakan sumber legitimasi atau landasan otorisasi bentuk-bentuk  hukum atau peraturan perundang-undangan lainnya. Oleh karena itu, konstitusi sebagai hukum tertinggi sebuah negara harus dimaksudkan untuk mencapai dan mewujudkan tujuan tertinggi bernegara. 

Dalam konteks negara Indonesia, tujuan tertinggi bernegara adalah seperti yang  tertuang dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, yakni: 1) Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; 2) Memajukan kesejahteraan umum; 3) Mencerdaskan kehidupan bangsa; dan 4) Ikut melaksanakan ketertiban dunia.

Merujuk kepada Ivo D. Duchacek, "Constitutions is identify the sources, purposes, uses and restraints of public power” (konstitusi adalah mengidentiikasikan sumber-sumber, tujuan-tujuan, penggunaan-penggunaan, dan pembatasan-pembatasan kekuasaan umum). Oleh karena itu, konstitusi juga harus memberi perhatian kepada pembatasan kekuasaan.



Ada 2 macam konstitusi, yakni tertulis dan tidak tertulis. Indonesia memiliki UUD NRI Tahun 1945 sebagai konstitusi tertulis dan konvensi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), konvensi adalah permufakatan atau kesepakatan (terutama mengenai adat, tradisi, dan sebagainya). Konvensi merupakan aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara (dilakukan terus menerus dan berulang-ulang) dalam praktik penyelenggaraan negara tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan pelengkap atau pengisi kekosongan yang timbul dalam praktik penyelenggaraan negara. Contohnya adalah Pidato Presiden setiap tanggal 16 Agustus.

Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dinyatakan bahwa UUD NRI Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan. Dalam hierarki perundang-undangan, UUD NRI Tahun 1945 menduduki posisi nomor satu.

Berdasarkan sejarahnya, ternyata UUD NRI Tahun 1945 sejak disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) telah mengalami beberapa kali perubahan, bahkan pergantian. Perubahan ini terjadi karena dipengaruhi oleh keadaan dan dinamika politik yang berkembang dan terjadi di Negara Indonesia. 

UUD NRI Tahun 1945 untuk pertama kalinya diganti oleh Konstitusi Republik Indonesia Serikat pada 27 Desember 1949. Maka, sejak tanggal 27 Desember 1949 diberlakukan Konstitusi RIS. Penggantian ini membawa dampak yang sangat besar dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia, salah satunya adalah berubahnya Negara Kesatuan Indonesia menjadi Negara Serikat. 

Pemberlakukan Konstitusi RIS 1949 tidak berlangsung lama, karena sejak 17 Agustus 1950 Konstitusi RIS 1949 diganti dengan UUDS tahun 1950. Pergantian ini kembali menyebabkan perubahan dalam ketatanegaraan Indonesia, yaitu kembali ke negara kesatuan yang berbentuk republik, dan sistem pemerintahan dari presidensial menjadi sistem parlementer. Setelah melalui perdebatan panjang tak berkesudahan, akhirnya pada 5 Juli 1959 presiden mengeluarkan dekrit, yang menyatakan kembali ke UUD NRI Tahun 1945 pertama (hasil pengesahan dan penetapan PPKI).

Setelah berlaku cukup lama, tanpa ada yang berani mengusulkan perubahan atau mengganti UUD NRI Tahun 1945, maka pada tahun 1999 sampai 2002, seiring dengan terjadinya reformasi di Indonesia, UUD NRI Tahun 1945 mengalami perubahan sebanyak 4 kali.

Salah satu hasil perubahan terhadap UUD NRI Tahun 1945 adalah mengenai sistematikanya. Sebelum amandemen, sistematika UUD NRI Tahun 1945 terdiri atas: Pembukaan, Batang Tubuh (37 pasal, 16 bab, 49 ayat), 4 pasal Aturan Peralihan, dan 2 ayat Aturan Tambahan. Setelah amandemen, sistematika UUD Tahun 1945 menjadi: Pembukaan (tetap 4 alinea), Batang Tubuh (21 bab, 73 pasal dan 170 ayat), 3 pasal Aturan Peralihan, dan 2 ayat Aturan Tambahan.

Selain itu, dari segi perubahan kualitatif, amandemen UUD NRI Tahun 1945 telah mengubah prinsip kedaulatan rakyat yang semula oleh MPR menjadi dilaksanakan menurut undang-undang. Hal tersebut menyebabkan posisi lembaga negara dalam level yang sederajat, masing-masing melaksanakan kedaulatan rakyat dalam lingkup wewenang yang dimiliki. Presiden yang semula memiliki kekuasaan besar (concentration of power and responsibility upon the president) menjadi prinsip saling mengawasi dan mengimbangi (check and balances). Dengan cara demikian, cita negara yang hendak dibangun adalah negara hukum yang demokratis. 

Secara garis besar, perubahan paska amandemen adalah sebagai berikut: 
  1. Mempertegas prinsip negara berdasarkan atas hukum [Pasal 1 ayat (3)] dengan menempatkan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka, penghormatan kepada hak asasi manusia serta kekuasaan yang dijalankan atas prinsip due process of law;
  2. Mengatur mekanisme pengangkatan dan pemberhentian para pejabat negara, seperti Hakim;
  3. Sistem konstitusional berdasarkan perimbangan kekuasaan (check and balances) yaitu setiap kekuasaan dibatasi oleh Undang-Undang berdasarkan fungsi masing-masing;
  4. Setiap lembaga negara sejajar kedudukannya di bawah UUD NRI Tahun 1945;
  5. Menata kembali lembaga-lembaga negara yang ada serta membentuk beberapa lembaga negara baru agar sesuai dengan sistem konstitusional dan prinsip negara berdasarkan hukum;
  6. Penyempurnaan pada sisi kedudukan dan kewenangan masing-masing lembaga negara disesuaikan dengan perkembangan negara demokrasi modern.

UUD NRI Tahun 1945 dalam Kehidupan Sehari-hari

UUD NRI Tahun 1945 dalam Kehidupan Sehari-hari

Kalau kita cermati pasal-pasal yang ada dalam UUD NRI Tahun 1945, ada banyak pasal yang bersentuhan langsung dengan kehidupan seluruh warga negara. Berikut adalah beberapa pasal yang dimaksud:



Terkait dengan Hak dan Kewajiban Warga Negara

Pasal 27

(1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

(2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

(3) Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.Terkait dengan Pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) 

Pasal 28

Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.

Pasal 28A

Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.

Pasal 28B

(1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.

(2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Pasal 28C

(1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.

(2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.

Pasal 28D

(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

(2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.

(3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

(4) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan

Pasal 28E

(1) Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.

(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.

Pasal 28F

Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Pasal 28G

(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman 

dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.

Pasal 28H

(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

(2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.

(3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.

(4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.

Pasal 28I

(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

(2) Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.

(3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.

(4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.

(5) Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.

Pasal 28J

(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada 

pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Terkait dengan Jaminan Beragama

Pasal 29

(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. 

Terkait dengan Bela Negara

Pasal 30

(1) Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.

Terkait dengan Pendidikan dan Kebudayaan

Pasal 31

(1) Setiap warga negara berhak mendapat Pendidikan.

(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

(3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.

(4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.

(5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

Pasal 32
(1) Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.

(2) Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya 
nasional.

Terkait dengan Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial

Pasal 33
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.

(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, eisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.

Pasal 34
(1) Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.

(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.

(3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. 

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang

Tuesday, September 20, 2022

KONEKSI ANTAR MATERI MODUL 1.2.a.8

KONEKSI ANTAR MATERI

MODUL 1.2.a.8


Setelah saya menjalani pembelajaran dari Modul 1.1 hingga Modul 1.2 ini, berikut adalah hal yang menjadi pembelajaran bagi saya (model refleksi 4P):

Peristiwa: Momen yang paling penting atau menantang atau mencerahkan bagi saya dalam proses pembelajaran Modul 1.1 hingga Modul 1.2 adalah...

Kaitan antara Modul 1.1 dan 1.2 yang saya fahami adalah... 

Perasaan: Saat momen itu terjadi saya merasa seperti bagaikan... 

Pembelajaran: Sebelum momen tersebut terjadi saya berpikir bahwa...sekarang saya berpikir bahwa...

Penerapan ke depan (Rencana): Apa pengembangan diri yang sederhana, konkret dan rutin yang dapat saya lakukan sendiri dari sekarang, untuk membantu menguatkan nilai-nilai dan peran saya sebagai Guru Penggerak?

Anda juga dapat memberikan komentar/apresiasi terhadap hasil kerja CGP lain di bagian ini. Pastikan Anda mengumpulkan tugas Anda terlebih dahulu sebelum memberikan tanggapan kepada hasil CGP lain.


Guru penggerak adalah pemimpin pembelajaran yang mampu mendorong tumbuh kembang murid secara holistik sesuai dengan kodrat alam dan kodrat jaman, aktif dan proaktif menggerakkan guru lain untuk mengimplementasikan fondasi pemikiran Ki Hajar Dewantara yaitu pembelajaran yang berpihak pada murid serta mampu menjadi teladan agen transformasi ekosistem pendidikan untuk mewujudkan Profil Pelajar Pancasila.

Seorang guru penggerak harus memiliki nilai-nilai yang menjadi pedoman berperilaku serta mendukung calon guru penggerak dalam mewujudkan merdeka belajar, meliputi nilai mandiri, reflektif, kolaboratif, inovatif serta berphak pada murid. Serta diharapkan mampu melaksanakan peran guru penggerak yang merupakan pedoman bertindak yang harus dikuasai oleh calon guru penggerak, meliputi :

1. Menjadi Pemimpin Pembelajaran

2. Menggerakkan komunitas Praktisi

3. Menjadi coach bagi guru lain

4. Mendorong kolaborasi antar guru

5. Mewujudkan kepemipinan murid


Keterkaitan antara Nilai dan Peran Guru Penggerak dengan Filosofi Ki Hadjar Dewantara

Pemikiran Ki Hajar Dewantara adalah pendidikan yang berpusat pada murid, anak diberi kesempatan untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan minat dan bakatnya. Di mana seorang guru hendaknya dengan suci hati mendekati sang anak dan menghamba kepada sang anak. Implementasi nilai-nilai dan peran guru penggerak merupakan bagian penting dalam mewujudkan pendidikan yang berpusat pada murid. Karena nilai dan peran guru penggerak menjadi pedoman dalam berperilaku dan bertindak dalam melakukan perubahan ekosistem pendidikan.

Guru dituntut untuk totalitas berfokus melayani anak agar dapat bertumbuh dan berkembang secara holistik yaitu tajam pikirannya (cipta), halus rasanya (rasa) dan kuat dan sehat jasmaninya (karsa) .Hadirnya guru penggerak sebagai agen perubahan ekosistem pendidikan yang berpijak pada filosofi Ki Hajar Dewantara harus mampu menerapkan 3 kata kunci yaitu teladan, motivasi dan merdeka.  Artinya calon guru penggerak harus mampu menjadi teladan serta dapat memotivasi sehingga menguatkan kemampuan untuk memerdekakan murid sesuai dengan profil pelajar pancasila. serta pengembangan potensi siswa yang mengikuti kodrat alam juga selaras dengan kodrat zamannya. Maka dari itu kolaborasikan nilai-nilai dan peran guru penggerak harus bersinergi dengan konsep merdeka belajar filosofi Ki Hajar Dewantara.

Strategi yang dapat dilakukan untuk mencapai nilai guru penggerak adalah

Berbekal nilai mandiri dan semangat dalam mempelajari hal-hal baru calon guru penggerak harus mampu meningkatkan keterampilan dan kompetensi diri dengan cara menggali ilmu pengetahuan baik mengikuti pendidikan dan latihan, sumber buku maupun internet.

Selalu merefleksikan dan mengevaluasi setiap kegiatan pembelajaran baik yang sudah dilakukan maupun yang akan dilakukan

Melakukan kolaborasi dengan pimpinan sekolah dan rekan guru di setiap kegiatan pembelajaran yang berpihak pada murid

Berupaya untuk selalu berinovasi dalam memunculkan ide-ide kreatif di setiap pemecahan masalah

Selalu mengutamakan kepentingan perkembangan murid sebagai acuan utama.


Pihak yang dapat membantu dalam mencapai nilai dan peran guru penggerak adalah

1. Peran keluarga yaitu selalu memberikan dukungan di dalam menjalankan program calon guru penggerak.

2. Peran Fasilitator dan Pendamping praktik yaitu selalu memberikan bimbingan, arahan dan motivasi di dalam meningkatkan keterampilan dan kompetensi diri.

3. Peran Kepala sekolah yaitu selalu memberikan motivasi dan dorongan untuk selalu melakukan perubahan-perubahan pembelajaran yang berpihak pada murid dan profil pelajar pancasila

4. Peran Rekan sejawat yaitu siap berkolaborasi untuk bergerak bersama di dalam mewujudkan merdeka belajar yaitu pembelajaran yang berpihak pada murid dan profil pelajar pancasila.

5. Peran Siswa yaitu selalu mendukung dan menjadi acuan utama didalam menerapkan pembelajaran yang berpihak pada murid.


Tuesday, September 13, 2022

Kearifan Lokal, Pengetahuan Lokal dan Degradasi Lingkungan

KEARIFAN LOKAL, PENGETAHUAN LOKAL DAN DEGRADASI LINGKUNGAN


Erwan Baharudin

Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Esa Unggul, Jakarta

Mahasiswa Pascasarjana Antropologi Universitas Indonesia, Jakarta

Jln. Arjuna Utara Tol Tomang Kebun Jeruk, Jakarta 11510

erwan.baharudin@gmail.com


Abstrak

Terkait dengan pengelolaan sumber daya alam, amanat konstitusi tertinggi dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 UUD 1945, yang berbunyi, “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”, ternyata menjadi ambivalensi dan tumpang tindih antara kebijakan satu dengan yang lainnya. Arah pembangunan yang ditujukan pada peningkatan ekonomi perkapita, menyebabkan pemihakan oleh pihak investor melalui Negara cq pemerintah yang menghalalkan pengeksploitasian lingkungan dan memarjinalisasikan masyarakat lokal. Sementara masyarakat lokal sendiri mempunyai kepentingan masalah ekonomi, mereka banyak yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya alam tersebut. Dengan demikian terjadilah kontestasi antara pihak-pihak yang terkait dengan kepentingannya dalam mengeksploitasi sumberdaya alam. Dengan kemajuan teknologi, eksploitasi tersebut semakin meluas dari sabang sampai merauke baik oleh Negara, perusahaan dan masyarakat sendiri. Hal itu dengan sendirinya akan menyebabkan kerusakan lingkungan dan terjadilah bencana alam yang memakan korban. Bencana alam tersebut ada dua penyebab, yang pertama karena ulah manusia dan yang kedua merupakan fenomena alam. Dengan adanya kearifan dan pengetahuan lokal, maka bencana alam yang terjadi bisa diminimalisir baik materi maupun immateri. Meskipun pengetahuan local tersebut banyak diperdebatkan dalam dunia keilmiahan (reason), tetapi dari beberapa kejadian, pengetahuan local (unreason) tersebut tidak dapat diabaikan keberadaannya.

Kata Kunci: Eksploitasi, Degradasi Lingkungan, Kearifan dan Pengetahuan Lokal

Pendahuluan


Sumberdaya alam (darat dan laut) merupakan aset yang memegang peranan penting dalam kelangsungan hidup suatu masyarakat baik dari aspek ekonomi, so-sial, hukum dan politik. Sumberdaya alam terdiri dari sumber alam yang bisa diper-barui seperti hutan, perikanan, dan lain-lain, dan sumber alam yang tidak bisa di-perbarui seperti minyak, batu bara, gas alam, dan lain-lain. Dari sudut pemakaian sumberdaya alam yang tidak bisa diperba-rui harus dikelola dan dipakai secara bijak-sana. Oleh sebab itu dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 UUD 1945, yang berbunyi, “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”. Dalam pengelolaannya, antara negara dengan ma­syarakat lokal banyak sekali terjadi kon-flik-konflik, yang biasanya berawal dari aktivitas eksploitasi dan terjadinya degra­dasi lingkungan, seperti semakin menipis-nya hutan, rusaknya komoditas laut akibat pengeboman oleh nelayan, dan lain-lain. Hubungan timbal-balik antara manusia dan lingkungannya berkaitan erat dengan proses perkembangan suatu wilayah dimana segala sesuatu yang dilakukan kepada ling-kungannya akan berpengaruh balik ter-hadap ekologi yang ada di sekitarnya yang bisa berarti positif dan negatif tergantung dari bagaimana pengelolaan yang dilaku­kan untuk menjaga keseimbangan ekologi. Manusia mempunyai tanggung jawab dan pengaruh yang besar terhadap perubahan lingkungan di sekitarnya.

Sejalan dengan pengelolaan sum-berdaya alam secara lestari adalah penting untuk bisa mengembangkan gaya dan pola hidup yang serasi dengan kemampuan daya dukung alam. Dalam hubungan ini maka pengembangan teknologi yang serasi de­ngan keperluan menyerap tenaga dan pe-ningkatan daya dukung alam menjadi penting. Persoalaannya adalah bahwa dunia internasional mengembangkan teknologi yang padat modal dan hemat tenaga kerja sesuai dengan kondisi Negara maju yang banyak melahirkan inovasi dan teknologi baru. Sebaliknya Negara Negara dunia ke-tiga kurang memiliki modal dan kesem-patan menyebarluaskan teknologi yang lebih serasi dengan lingkungan tanah air-nya. Disamping itu keadaan persaingan dunia dan desakan waktu mendorong ma­nusia untuk memperhatikan teknologi.


Perkembangan dan kemajuan tek­nologi dari waktu ke waktu sangat mem-pengaruhi perubahan-perubahan dan per-tumbuhan masyarakat, urbanisasi, per-tanian, ekonomi, sosial budaya, dan lain-lain tidak terlepas dari pertumbuhan ruang lingkup kebudayaan dalam suatu Negara.


Permasalahan dalam lingkungan


Secara ekologis, lingkungan hidup dipandang sebagai satu sistem yang terdiri dari subsistem-sistem. Dalam ekologi juga manusia merupakan salah satu subsistem dalam ekosistem lingkungan. Dengan de-mikian   manusia   adalah   satu   kesatuanterpadu dengan lingkungannya dan dianta-ranya terjalin suatu hubungan fungsional sedemikian rupa. Dalam hubungan fung­sional tersebut manusia dan lingku­ngan terdapat saling ketergantungan dan saling pengaruh yang pada akhirnya akan berpengaruh pada ekosistem secara kese-luruhan. Untuk mencapai keselarasan, ke-serasian, dan keseimbangan antar subsis­tem dalam ekosistem diperlukan sistem pe­ngelolaan secara terpadu. Sebagai suatu ekosistem, lingkungan hidup mempunyai aspek sosial, budaya, ekonomi dan geografi dengan corak ragam dan daya dukung yang berbeda Politik pembangunan – terutama-di negara-negara berkembang yang lebih menitikberatkan pada pertumbuhan ekono­mi untuk mengejar kesejahteran rakyat sering mendatangkan permasalahan di bi-dang lingkungan. Permasalahan lingkungan ini biasanya bersumber pada dorongan untuk memanfaatan secara terus menerus dan belebihan sumber daya alam tanpa memperhatikan daya dukung sumber daya alam tersebut. Untuk mengejar kemakmu-ran, sumber daya alam dipandang sebagai faktor produksi untuk mewujudkan tujuan pembangunan ekonomi, tanpa memperhati­kan dampaknya.


Akhir-akhir ini alam di Indonesia banyak mengalami perubahan lingkungan, banyak musibah seperti banjir besar, tanah longsor, satwa yang menyerang manusia. Jika lingkungan yang sekarang ini diban-dingkan dengan 20 tahun yang lalu, terjadi perbedaan yang sangat timpang, dimana terasa sekali terjadinya perubahan peruba­han lingkungan seperti kota maupun desa semakin padat dan kotor, kendaraan ber-motor semakin banyak dan menyebabkan polusi, hutan semakin sempit dan gundul, bukit bukit juga semakin berkurang kerin-dangannya, musim kemarau lebih panas, dan pada musim hujan terjadi banjir besar-besaran.


Banyak orang menyatakan bahwa biang kerusakan lingkungan alam sejauh berhubungandengan manusia adalah akti-vitas-aktivitas industri kapitalis modern. Desakan persaingan di bidang industri yang merupakan prinsip kapitalisme melahirkan berbagai tindakan yang lepas kontrol dalam pendayagunaan atau pengolahan sumber daya alam untuk kebutuhan industri dan dalam penerapan teknologi industri yang tidak mempertimbangkan kondisi alam. Pe­nerapan teknologi canggih dalam industri memungkinkan pengolahan sumber daya alam secara cepat dan ekstensif. Dengan demikian terjadi percepatan dalam proses mengakumulasi modal dan konsumsi. Inilah logika kapitalisme. Tetapi logika itu bermuara secara tragis pada percepatan tempo kehidupan secara total. Kapitalisme memang menciptakan kelimpahruahan materi, tetapi di balik kelimpahruahan ter-sebut ada beban berat yang dipikul oleh bu-mi, yaitu kerusakan ekologis, yang dalam jangka panjang menggiring kepada kehan-curan ekologis, dan akhirnya kehancuran manusia itu sendiri.


Ada dua faktor penyebab terja-dinya degradasi lingkungan hidup, pertama penyebab yang bersifat tidak langsung dan kedua penyebab yang bersifat langsung. Faktor penyebab tidak langsung merupakan penyebab yang sangat dominan terhadap kerusakan lingkungan, sedangkan yang bersifat langsung, terbatas pada ulah pemerintah, perusahaan dan penduduk se­tempat yang mengeksploitasi hutan/ ling­kungan secara berlebihan karena desakan kebutuhan. Faktor penyebab tersebut be-rikut ini bersifat tidak langsung.


Pertambahan Penduduk. Penduduk yang bertambah terus setiap tahun menghendaki penyediaan sejumlah kebutuhan atas “pangan, sandang dan papan (rumah)”. Sementara itu ruang muka bumi tempat manusia mencari nafkah tidak bertambah luas. Perluasan lapangan usaha itulah yangpada gilirannya menyebabkan eksploitasi lingkungan secara berlebihan dan atau secara liar

Kebijakan Pemerintah. Bebe-rapa kebijakan pemerintah yang berdampak negatif terhadap LH. Sejak tahun 1970, pembangunan Indonesia dititikberatkan pada pembangunan industri yang berbasis pada pembangunan pertanian yang menyo-kong industri. Keinginan pemerintah Orde Baru saat itu yang segera ingin mewujud-kan Indonesia sebagai negara industri, telah menyebabkan rakyat miskin mayoritas penduduk (terutama yang tidak memiliki lahan yang cukup) hanya menjadi “penon-ton” pembangunan. Bahkan sebagian dari mereka kehilangan mata pencarian sebagai buruh tani dan nelayan karena masuknya teknologi di bidang pertanian dan peri-kanan. Mereka ini karena terpaksa mengga-rap tanah negara secara liar di daerah pesisir hingga pegunungan

Dampak In-dustrialisasi. Dalam proses industrialisasi ini antara lain termasuk industri perkayuan, perumahan/real estate dan industri kertas. Ketiga industri tersebut di atas memerlukan kayu dalam jumlah yang besar sebagai bahan bakunya. Inilah awal mula eksploi­tasi kayu di hutan-hutan, yang melibatkan banyak kalangan terlibat di dalamnya. Ke-untungan yang demikian besar dalam bisnis perkayuan telah mengundang banyak pe-ngusaha besar terjun di bidang ini. Namun, sangat disayangkan karena sulitnya pe-ngawasan, banyak aturan di bidang pe-ngusahaan hutan ini yang dilanggar yang pada gilirannya berkembang menjadi se-macam “mafia” perkayuan. Semua ini ter­jadi karena ada jaringan kolusi yang rapi antara pengusaha, oknum birokrasi dan ok-num keamanan. Sementara itu penduduk setempat yang perduli hutan tidak berdaya menghadapinnya. Akibat lebih lanjut pen­duduk setempat yang semula peduli dan mencintai hutan serta memiliki sikap moral yang tinggi terhadap lingkungan menjadi frustasi, bahkan kemudian sebagian darimereka turut terlibat dalam proses “illegal logging” tersebut. Masalah tersebut di atas di era pemerintahan Orde Reformasi seka-rang ini masih terus berlanjut, bahkan semakin marak dan melibatkan sejumlah pihak yang lebih banyak dibandingkan dengan era Orde Baru. Uang yang berlim-pah dari keuntungan illegal logging ini telah membutakan mata hati/dan moral ok-num-oknum birokrat dan penegak hukum yang terlibat atas betapa pentingnya man-faat hutan dan lingkungan hidup yang les-tari, untuk kehidupan semua makhluk, khu-susnya manusia generasi sekarang dan yang akan datang.

Reboisasi dan Rekla­masi yang Gagal. Upaya reboisasi hutan yang telah ditebang dan reklamasi lubang/ tanah terbuka bekas galian tambang sangat minim hasilnya karena prosesnya memer-lukan waktu puluhan tahun dan dananya tidak mencukupi karena banyak disalahgu-nakan. Hal ini membuktikan bahwa penge-tahuan dan kesadaran atas pentingnya pelestarian lingkungan hidup, baik di kala-ngan pejabat maupun warga masyarakat sangat rendah. Kebakaran hutan reboisasi diduga ada unsur kesengajaan untuk me-ngelabui reboisasi yang tidak sesuai ketentuan (manipulasi reboisasi).

Me-ningkatnya Penduduk Miskin dan Pengang-guran. Bertambah banyaknya penduduk miskin dan pengangguran sebagai akibat dari pemulihan krisis ekonomi yang hingga kini belum berhasil serta adanya kebijakan ekonomi pemerintah yang tidak populis seperti penghilangan subsidi untuk sebagian kebutuhan pokok rakyat, pening-katan tarif BMM, listrik, telepon dan lain-lain, merupakan faktor pemicu sekaligus pemacu perusakan lingkungan oleh pen­duduk miskin di pedesaan. Gejala ini juga dimanfaatkan oleh para spekulan penduduk kota untuk bekerja sama dengan penduduk miskin pedesaan. Sebagai contoh menga-lirnya kayu jati hasil penebangan liar dari hutan negara/perhutani ke industri meubeldi kota-kota besar di Pulau Jawa, sebagai satu bukti dalam hal ini. Peningkatan jum-lah penduduk miskin dan pengangguran diperkirakan akan memperbesar dan mem-percepat kerusakan hutan/lingkungan yang makin parah. Hal ini merupakan lampu merah bagi masa depan generasi kita

Lemahnya Penegakan Hukum. Sudah banyak peraturan perundangan yang telah dibuat berkenaan dengan pengelolaan ling­kungan dan khususnya hutan, namun im-plementasinya di lapangan seakan-akan ti­dak tampak, karena memang faktanya apa yang dilakukan tidak sesuai dengan pera­turan yang telah dibuat. Lemah dan tidak jalannya sangsi atas pelanggaran dalam setiap peraturan yang ada memberikan peluang untuk terjadinya pelanggaran. Di pihak lain disinyalir adanya aparat penegak hukum yang terlibat dalam sindikat/mafia perkayuan dan pertambangan telah mele-mahkan proses peradilan atas para penjahat lingkungan, sehingga mengesankan pera­dilan masalah lingkungan seperti sandiwara belaka. Namun di atas itu semua lemahnya penegakan hukum sebagai akibat rendah-nya komitmen dan kredibilitas moral aparat penegak hukum merupakan faktor utama yang berpengaruh terhadap semakin ma-raknya perusakan hutan/lingkungan.

Ke­sadaran Masyarakat yang Rendah. Kesa­daran sebagian besar warga masyarakat yang rendah terhadap pentingnya peles­tarian lingkungan/hutan merupakan satu hal yang menyebabkan ketidakpedulian masyarakat atas degradasi lingkungan yang semakin intensif. Rendahnya kesadaran masyarakat ini disebabkan mereka tidak memiliki pengetahuan tentang lingkungan hidup yang memadai. Oleh karena itu, kini sudah saatnya pengetahuan tentang ling­kungan hidup dikembangkan sedemikian rupa dan menjadi salah satu mata pelajaran di sekolah umum mulai dari tingkat SD. Hal ini dipandang penting, karena ku-rangnya pengetahuan masyarakat atasfungsi dan manfaat lingkungan hidup telah menyebabkan pula rendahnya disiplin ma-syarakat dalam memperlakukan lingkungan sesuai peraturan perundang-undangan dan kaidah-kaidah iptek lingkungan hidup.

Pencemaran Lingkungan. Pencemaran ling­kungan baik pencemaran air, tanah maupun udara justru di era reformasi ini terutama di Pulau Jawa semakin memprihatinkan. Disi­plin masyarakat kota dalam mengelola sampah secara benar semakin menurun. Banyak onggokan sampah bukan pada tem-patnya. Para pelaku industri berdasarkan hasil penelitian tidak ada yang mengelola sampah industri dengan baik. Sebanyak 50% dari 85 perusahaan hanya mengelola sampah berdasarkan ketentuan minimum. Sebanyak 22 perusahaan (25%) mengelola sampah tidak sesuai ketentuan bahkan ada 4 perusahaan belum mengendalikan pen­cemaran dari pabriknya sama sekali. Pencemaran udara semakin meningkat ta-jam di kota-kota besar, metropolitan dan kawasan industri. Gas buangan (CO2) dari kendaraan yang lalu lalang semakin me­ningkat sejalan dengan pertambahan jum-lah kendaraan itu sendiri. Dengan dipro-duksinya kendaraan murah yang dijual secara kredit, akan menambah lonjakan jumlah kendaraan, hal ini akan menambah kemacetan lalu lintas di kota besar. Dam-paknya akan terjadi lonjakan tingkat pen­cemaran udara yang luar biasa.

Pemerintah sebagai lembaga ter-tinggi dalam suatu Negara berwenang un-tuk mengatur ataupun mengendalikan apa saja yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia, dan dalam Undang-undang Dasar 1945 Amandemen I-IV dalam pasal 33 yang mengatur tentang sumber-sumber Negara yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Untuk meng-implementasikan hal tersebut maka peme­rintah melakukan hal-hal sebagai berikut:


mengatur dan mengembangkan kebijak-sanaan dalam rangka pengelolaan ling­kungan hidup

mengatur penyediaan,peruntukan,penggunaan,pengelolaan lingkungan hidup dan pememfaatan kembali sum-ber daya alam, termasuk sumber genetika.

mengatur perbuatan hukum dan hubungan hukum antara orang lain atau subyek hukum lainya serta pembuatan hukum terhadap sumber daya alam dan sumber daya buatan, termasuk sumber daya genetika

mengendalikan kegiatan yang mempunyai dampak sosial

mengembangkan pendanaan bagi upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku

Tetapi, akibat derasnya arus kapi-talisme global telah mendorong intervensi dari negara untuk melakukan proses regu-lasi. efek yang ditimbulkan adalah terja-dinya konspirasi antara penguasa modal dengan birokrasi untuk memuluskan proses eksploitasi sumber daya alam dengan dalih investasi untuk kesejahteraan masyarakat. Sementara itu masyarakat lokal, mem-punyai cara yang berbeda dalam meng-eksploitasi lingkungan, sehingga menim-bulkan konflik lingkungan.


Konflik lingkungan ini yaitu adanya kebijakan pemerintah yang dilak-sanakan oleh pengusaha seringkali tidak memihak kepada masyarakat. Selain itu da­lam proses pengambilan keputusan oleh pemerintah, seringkali masyarakat tidak dilibatkan, padahal dalam kebanyakan ka-sus-kasus lingkungan korbannya adalah masyarakat baik sebagai individu maupun kollektif.


Konflik ini menunjukkan bahwa posisi antara negara dengan masyarakattidak berimbang dan masing masing terlihat mempunyai kepentingan yang ber-beda-beda, baik di daerah rural maupun ur­ban. Degradasi lingkungan tersebut harus disadari akan merusak infrastruktur pere-konomian dan mengganggu kehidupan so-sial. Di wilayah perkotaan ditandai oleh semakin tingginya pencemaran udara serta semakin meluasnya wilayah perkotaan yang tercemari dengan pencemaran udara tersebut. Kondisi tersebut tidak terlepas dari meningkatnya kerusakan sumberdaya alam maupun banyaknya industri pen-cemar, sejalan dengan pertumbuhan eko-nomi maupun perkembangan penduduk. Di daerah rural degradasi lingkungan bisa terlihat salah satunya dengan makin me-nipisnya kawasan perhutanan yang diaki-batkan oleh kebakaran maupun pemba-lakan liar oleh toke toke dan juga masya-rakat sekitar.

Adanya degradasi lingkungan yang menyebabkan bencana tersebut, akan bisa diminimalisir apabila ada kerjasama penge-lolaan sumberdaya alam antara Pemerintah Negara dengan perangkatnya, dan masya-rakat lokal dengan kearifan dan penge-tahuan local yang dimilikinya.


Pembahasan

Kearifan dan Pengetahuan Lokal dalam Masyarakat


Nygren (1999) mengemukakan Pe­ngetahuan lokal merupakan istilah yang problematik. Pengetahuan local dianggap tidak ilmiah, sehingga pengetahuan local tersebut dibedakan dengan pengetahuan ilmiah yang dikenalkan oleh dunia barat. Titik temu antara pengetahuan local yang tidak ilmiah dan yang ilmiah tersebut keduanya berada pada bagaimana cara memahami dunia mereka sendiri. Penge­tahuan local dapat ditelusuri dalam bentuk pragmatis maupun supranatural. Penge­tahuan dalam bentuk pragmatis menyang-kut pengetahuan tentang kaitan pemanfaatan sumberdaya alam, dan dalam ben­tuk supranatural, ketika pengetahuan itu menjadi seolah-olah tidak ilmiah (un­reason). Untuk yang pragmatis ini, pe-ngetahuannya berubah, karena berhu-bungan dengan pihak lain dari wilayah-nya. Pengetahuan lokal selalu dianggap sebagai lawan dari pengetahuan barat yang bersifat ilmiah, universal, memiliki meto-dologi dan dapat diverifikasi. Pengetahuan lokal dianggap bersifat lokal, terbatas dan tidak memiliki metodologi dan sebagainya. Pembedaan ini secara tidak sadar meme-lihara perbedaan antara pengetahuan ilmiah negara barat dan pengetahuan lokal (negara timur), yang pada akhirnya memelihara pandangan kolonialisme antara barat dan timur.


Masyarakat dengan pengetahuan dan kearifan lokal telah ada di dalam kehidupan masyarakat semenjak zaman dahulu mulai dari zaman pra-sejarah sam-pai sekarang ini, kearifan tersebut merupa­kan perilaku positif manusia dalam berhu-bungan dengan alam dan lingkungan seki-tarnya yang dapat bersumber dari nilai-nilai agama, adat istiadat, petuah nenek moyang atau budaya setempat (Wietoler, 2007), yang terbangun secara alamiah dalam suatu komunitas masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya, perilaku ini berkembang menjadi suatu kebudayaan di suatu daerah dan akan berkembang secara turun-temurun, secara umum, bu­daya lokal atau budaya daerah dimaknai sebagai budaya yang berkembang di suatu daerah, yang unsur-unsurnya adalah bu­daya suku-suku bangsa yang tinggal di daerah itu.


Contoh kearifan local adalah yang dilakukan di kawasan kars gunung sewu. Masyarakat di Kawasan Kars Gunung Kidul sebagian besar memiliki mata penca-harian sebagai petani yang memanfaatkan lahan-lahan di sekitar cekungan-cekungan kars (doline) sebagai lahan pertanian yang dikelola oleh masyarakat. Lahan pertanian dikelola secara swadaya oleh masyarakat dengan teknologi-teknologi konvensional yang telah mereka pelajari dari zaman nenek moyangnya secara turun-temurun dan dikembangkan secara tradisional untuk mencapai hasil yang lebih baik sesuai de­ngan perkembangan dan perubahan lahan. Kebutuhan akan air sebagai penyubur lahan pertanian di kawasan ini menjadi permasa-lahan yang dialami oleh para petani dalam mengelola lahannya, ketersediaan sumber-daya alam yang ada memberikan pilihan kepada masyarakat untuk dapat mengelola-nya secara manual, kondisi ini mengakibat-kan adanya usaha-usaha masyarakat dalam mengelola sumber daya air yang ada di permukaan dan bawah permukaan secara tradisional dengan memanfaatkan kearifan-kearifan lokal baik yang mengandung unsur mitos atau kepercayaan dan kebuda-yaan-kebudayaan sebagai tatanan kehidu-pan masyarakat yang berlaku di sekitar kawasan Gunung Kidul.


Manusia harus memperlakukan lingkungan di sekitarnya sebagai tempat tinggal yang telah memberikan segalanya untuk kita, sehingga ada tanggung jawab yang besar untuk menjaga dan menge-lolanya, pengembangan teknologi seder-hana di dalam mengelola sumberdayanya akan selalu dipertahankan untuk menjaga tradisi, memberi motivasi dan menjaga kepercayaan masyarakat dalam mengelola wilayahnya sehingga peran masyarakat sebagai kunci utama dalam menjaga ke-seimbangan sumberdaya alam yang ada di sekitarnya. Kearifan lokal harus menjadi yang terdepan dalam menjalankan pro­gram-program pengembangan wilayah di kawasan kars untuk mendorong masyarakat sebagai pelaku utama dalam usaha me-ngembangkan sumberdaya alamnya. Di Gunung Kidul masyarakat sudah hidup selama bertahun-tahun dengan kondisi wilayah yang kekeringan dan kekuranganair walaupun memiliki cadangan air bawah permukaan yang sangat besar jumlahnya, faktor geologis pada wilayah ini sebagai kawasan batugamping yang mengalami proses pelarutan, mengakibatkan pada ba-gian permukaan kawasan ini merupakan daerah yang kering, masyarakat meman­faatkan sumber-sumber air dari telaga-te-laga kars dan gua-gua yang memiliki sum­ber-sumber air. Kearifan lingkungan ma­syarakat Gunung Kidul dalam mengelola lingkungannya dilakukan secara bergotong royong untuk menjaga sumber-sumber air yang ada dengan melakukan perlindungan dan membuat aturan-aturan adat yang memberikan larangan-larangan kepada masyarakat ayang memberikan penilaian negatif dari dampak yang akan ditimbulkan bila tidak dilakukan, untuk dapat menjaga dan mengelola sumber-sumber air yang ada. Kebudayaan lokal pada suatu daerah harus tetap dijaga kelestariannya agar kondisi alamiah dari lingkungannya tetap terjaga, banyak program-program peme-rintah yang dilakukan di wilayah Gunung Kidul dalam usaha pemanfaatan dan penge-lolaan sumberdaya air bawah permukaan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di seluruh wilayah Gunung Kidul, tapi pro­gram-program yang telah dijalankan oleh pemerintah tidak menjadikan budaya lokal masyarakat sebagai referensi dalam men­jalankan program pembangunan di wilayah ini, kawasan kars memiliki karateristik yang berbeda dari kondisi wilayah lainnya, proses pelarutan yang terjadi menga­kibatkan adanya perubahan karakteristik dari batugamping, banyak pembangunan infrastruktur sistem perpipaan yang seha-rusnya dapat menyuplai kebutuhan air untuk masyarakat menjadi tidak berfungsi pada waktu tertentu akibat dari pe-nyumbatan-penyumbatan aliran pipa yang di sebabkan oleh adanya proses pelarutan, pada batuan yang di lewati sumber airnya. Banyak danau-danau kars yang tidak dapat


berfungsi lagi akibat adanya pembangunan waduk di sekitar danau dan dilakukan pengerukan untuk memperdalam tampu-ngan air dengan asumsi akan dapat me-nambah jumlah persediaan air, tapi justru hal ini harus di bayar mahal dengan hilang-nya atau tidak berfungsinya danau akibat dari hilangnya sumber air yang ada masuk ke bawah permukaan melalui rekahan-re-kahan batuan hal ini disebabkan oleh hi­langnya lapisan lumpur (terarosa) yang ber­fungsi sebagai penahan air. Sehingga ba-nyak sistem perpipaan dan penampung air yang dibangun hanya menjadi sebuah mo-numen yang tidak dapat berfungsi. Sejak zaman dahulu masyarakat di wilayah Gu­nung Kidul telah hidup dalam kondisi ke-keringan, namun mereka punya cara ter-sendiri untuk beradaptasi dengan alam di sekitarnya dalam memenuhi kebutuhan hi-dupnya untuk kebutuhan sehari-hari dan lahan pertanian, ini terus berlangsung hing-ga sampai saat ini walaupun banyak orang yang sudah mulai meninggalkannya untuk mencari penghidupan di tempat lain yang biasanya di kota-kota besar, tetapi masya­rakat di Kawasan Kars Gunung Kidul tetap melakukan kearifan lingkungan yang sudah menjadi budaya lokal yang masih tetap dikembangkan oleh masyarakat setempat. Banyak kearifan lingkungan di wilayah ini yang menjadi program bagi masyarakat untuk mengelola lingkungan dan sumber-daya air serta untuk mengembangkan pari-wisata di kawasan kars baik wisata alam maupun wisata minat khusus gua. (Petrasa Wacana, 2008).


Masyarakat lokal yang bermukim di lereng Gunung Merapi, Jawa Tengah, misalnya, telah mempunyai kemampuan untuk memprediksi kemungkinan terja-dinya letusan. Hal tersebut antara lain menggunakan indikator berbagai jenis hewan liar yang turun lereng di luar kebia-saan dalam kondisi lingkungan normal. Secara etik, penggunaan indikator alam tersebut cukup rasional mengingat berbagai jenis binatang dengan instingnya memiliki kepekaan tinggi dalam merasakan kian meningkatnya suhu tanah akibat me-ningkatnya tingkat aktivitas Gunung Me­rapi sehingga mereka pindah tempat.


Selain itu, dalam menghindari ri-siko bencana Gunung Merapi meletus, warga lokal di lereng Gunung Merapi juga mempunyai kearifan lokal dalam mem-bangun permukiman di lingkungan yang penuh risiko bencana alam letusan gunung api. Permukiman tersebut bisanya berke-lompok di lahan datar dengan dikelilingi tegalan.

Rumah-rumah senantiasa didirikan menghadap ke arah yang berlawanan de­ngan Gunung Merapi. Maksudnya, berda-sarkan pandangan mereka, agar rumah-rumah tersebut tidak dimasuki makhluk ha-lus pengganggu yang menghuni Gunung Merapi. Namun, secara etik dapat ditaf-sirkan bahwa rumah-rumah tempat tinggal tersebut dibangun menghadap ke arah jalan utama desa yang membujur ke arah utara-selatan atau selatan-utara agar sekiranya terjadi letusan, mereka dapat dengan segera melarikan diri menuju jalan utama desa.Berbagai contoh kearifan ekologi masyarakat lokal dapat pula ditemukan di berbagai kelompok masyarakat lokal di Tatar Sunda. Di masyarakat Kampung Naga di Tasikmalaya dan Kampung Dukuh di Garut selatan, misalnya, pembangunan permukiman dan pemanfaatan lahan lain-nya senantiasa diatur secara tradisional de­ngan sistem zonasi. Dengan demikian, sis­tem pengetahuan lokal masyarakat tersebut dapat diintegrasikan dalam analisis risiko lingkungan dan mitigasi bencana alam berlandaskan kajian ilmu pengetahuan atau pandangan etik. (Johan, 2009)


Kalau kita menengok ke belakang saat kita belum punya teknolo-gi, bagaimana cara bertahan hidup bangsa Indonesia pada zaman dahulu dalam menghadapi bencana? ada berapa contoh kea-rifan lokal yang telah menyelamatkan ba-nyak orang akan tetapi jarang diketahui orang. Sebagai contoh kearifan lokal yang menyelamatkan yang dikembangkan ma-syarakat pulau Simelue yang selamat dari tsunami tanggal 26 Desember 2004 telah menyelamatkan ribuan manusia. Ma-syarakat Pulau Simelue belajar dari keja-dian bencana tsunami yang terjadi pada be-berapa puluh tahun yang lalu (tahuh 1900) dan mengembangkan sistem peringatan di-ni dengan teriakan semong yang berarti air laut surut dan segera lari menuju kebukit. Istilah ini selalu disosialisasikan dengan ca-ra menjadi dongeng legenda oleh tokoh masyarakat setempat sehingga istilah ini jadi melekat dan membudaya dihati setiap penduduk pulau Simelue. Istilah ini yang menyelamatkan hampir seluruh rakyat pulau Simelue padahal secara geografis le-taknya sangat dekat dengan pusat bencana. Masyarakat yang berasal dari pulau Simelue dan bekerja di sepanjang pantai barat Sumatra menjadi pahlawan karena menyelamatkan banyak orang dengan menyuruh dan memaksa orang segera ber-lari secepatnya menuju tempat yang tinggi begitu melihat air laut surut. Contoh kea­rifan lokal ini sering dimuat di media dan disiarkan lewat media elektronik, walau begitu saat Pantai Pangandaran terkena tsu­nami bulan Juli 2006 masyarakat setempat tidak segera lari meninggalkan pantai ma-lah mendekati pantai untuk mengambil ikan sehingga banyak korban tsunami saat itu. Contoh lain ditunjukkan oleh seorang KH Muzamil Hasan Basuni, pimpinan Pondok Pesantren (ponpes) Al Hasan yang terletak di Desa Kemiri, Panti, Jember karena kepedulian terhadap perubahan lingkungan di sekitarnya, beliau bisa me­nyelamatkan 400 santrinya karena melihat keganjilan, dimana dalam kondisi hujan agak lebat tetapi air sungai tidak banjir lagi malah surut. Ternyata dibagian hulu telahterjadi longsor yang menutup atau mem-bendung sementara aliran sungai. Begitu bendung tanah jebol maka terjadi banjir bandang. Semua bisa melihat bagaimana seluruh kompleks pondok pesantren teren-dam lumpur dan banyak yang hancur karenanya.Ini berarti bangsa Indonesia bisa bertahan hidup dengan belajar langsung dari alam dan berusaha terus mengenal (“niteni”) tingkah laku alam di sekitarnya, sehingga mereka menciptakan banyak ke­arifan lokal yang dianut oleh komunitas masyarakat sekitarnya. Kearifan lokal ini berkembang karena selama ratusan tahun secara geologi, klimatologis, geografi dan kondisi sosial demografi Indonesia rawan bencana gempa, tsunami, gunung api, longsor, rawan banjir, angin ribut, keke-ringan, kebakaran hutan, konflik sosial, penyakit menular dan lain sebagainya. Dalam perkembangannya kearifan lokal mulai terpojokkan/terpinggirkan dikarena-kan datangnya ilmu pengetahuan dari barat. Hal ini terjadi karena kearifan lokal tidak punya bukti ilmiah yang bisa diterima secara rasional. Seperti kita ketahui bersama sekitar pertengahan bulan Juni 2006 G Merapi di Yogyakarta terjadi pe-ningkatan aktivitas sampai level siaga 1 dengan konsekuensi masyarakat yang ber-mukim di kawasan gunung merapi harus diungsikan. Pengungsian dimulai dengan bantuan aparat dan relawan. Adalah Mbah Marijan dan kerabatnya tidak menunjukkan kegelisahan dan kegugupan, masih tetap te-nang-tenang saja. Kenapa mbah kok tidak ikut mengungsi? Mbah Marijan menjawab dengan tenang “Memang ada apa?, gunung Merapi saat ini belum mau meletus, masih batuk-batuk saja dan kenalpotnya tidak me-ngarah kesini. Jadi kenapa saya harus ribut, dan saya belum dapat wangsit dari eyang merapi. Mbah Marijan pun bisa melihat si-nar putih (cleret) yang keluar dari puncak gunung merapi menuju ke bawah yang menandakan akan keluarnya awan panas (wedus gembel) yang keluar searah dengan arah cleret. Bulan Oktober-Nopember 2007 gunung Kelud aktif dinyatakan pada level awas oleh pihak Pusat Volkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG Bandung) dan tegas-tegas mengatakan bah-wa secara teoritis dengan tingkat kegem-paan, perubahan temperature, tingkat de-formasi dan berdasarkan sejarah letusan di masa lampau maka mestinya gunung kelud sudah meletus. Oleh kerenanya semua orang yang bermukim di radius 10 km harus diungsikan. Bagi masayarakat yang pernah mengalami letusan tahun 1919, 1951, 1966 dan 1990 menolak mengungsi karena belum ada tanda-tanda alam seperti (1) turunnya he wan-he wan dari puncak, (2) burung-burung atau hewan lainnya masih berbunyi, (3) pohon-pohon di sekeliling kawah belum ada yang mati layu/kering. Dan lagi sang sesepuh seperti mbah Marijan yang dikenal dengan Mbah Ronggo mengatakan bahwa disamping be­lum ada tanda-tanda tersebut, dia belum mendapatkan “wangsit”. Apa yang dilaku-kan oleh mbah Ronggo dan masyarakat gunung kelud merupakan upaya masya­rakat lokal (local wisdom) untuk memaha-mi perilaku alamiah gunung berapi berda­sarkan pengalaman sejarah letusan Mbah Ronggo ngotot tidak mau mengungsi. Dan kita lihat bersama drama gunung kelud tidak diakhiri dengan letusan walau secara intrumental teknologi mestinya mele­tus. Berdasarkan beberapa literatur peruba­han perilaku hewan seperti hewan-hewan langka turun gunung, hewan-hewan atau burung-burung terdiam tidak bersuara (ada kesunyian) atau binatang liar yang tiba-tiba menjadi mudah ditangkap atau binatang peliharaan yang bertingkah laku aneh di sangkarnya, sering muncul sebelum pe-ningkatan fase letusan gunung berapi. Ada berbagai kemungkinan penyebab kejadian ini antara laian karena adanya gelombang dan radiasi elektromagnetik yang keluarbersamaan dengan bergeraknya magma ke-atas sehingga menimbulkan regangan dan retakan. Akibat tekanan magma pada lapi-san batuan menimbulkan regangan dan berakibat munculnya gelombang elek­tromagnetik, dan retakan yang menim­bulkan radiasi magnetic. Gelombang dan radiasi elektromagnetik berfrekuensi ren-dah hingg tinggi. Rendah bila regangan dan radiasi diakibatkan oleh tekanan magma yang rendah pula, sebaliknya yang rega­ngan dan radiasi elektromagnetik tinggi di-karenakan tekanan magma tinggi. Ge­lombang dan radiasi EM berfrekuensi ter-tentu ini akan mudah dan sudah diterima oleh hewan-hewan sebagai ancaman se­hingga hewan-hewan tersebut bertingkah laku tidak seperti biasanya.

Contoh kearifan dan pengetahuan local yang lain adalah di Sulawesi Selatan pada masyarakat adat Tanatowa, Kajang, Kabupaten Bulukumba. Masyarakat adat ini memiliki bentuk perilaku positif dalam berhubungan dengan alam dan lingkungan sekitar, yang bersumber dari nilai-nilai agama, adat-istiadat, dan petuah-petuah ba-ik yang diwariskan secara lisan maupun bukan lisan. Sumber nilai tersebut dikenal dengan nama Pasang ri Kajang, berupa pesan leluhur (teks lisan) yang berisi 120 pasal, dan 19 pasal di antaranya berisi sistem pengelolaan lingkungan. Salah satu pasal dari pesan tersebut berbunyi: Anjo boronga anre nakkulle nipanraki. Punna nipanraki boronga, nupanraki kalennu (Hutan tidak boleh dirusak. Jika engkau merusaknya, maka sama halnya engkau merusak dirimu sendiri). Selain itu, kita ju-ga bisa melihat pasal lain yang berbunyi: Anjo natahang ri boronga karana pasang. Rettopi tanayya rettoi ada (Hutan bisa lestari karena dijaga oleh adat. Bila bumi hancur, maka hancur pula adat).


Dalam kaitan itu, pada masyarakat adat ini dikenal adanya pembagian ka-wasan, yaitu pertama, kawasan untuk budidaya untuk dinikmati bersama; kedua, kawasan hutan kemasyarakatan yang setiap warga diperbolehkan menebang pohon, tetapi harus terlebih dahulu menanam po­hon pengganti; dan ketiga, kawasan hutan adat (borong karamaq) yang sama sekali tidak boleh dirambah (Basri Andang, 2006). Pelanggaran terhadap ketentuan adat ini akan dijatuhi sanksi adat, dalam bentuk pangkal cambuk atau denda uang dalam jumlah tertentu, sesuai dengan ada’ tanayya, sebuah sistem peradilan adat Ka-jang. Mereka juga memiliki lembaga adat yang disebut dengan tau limayya (or-ganisasi yang beranggotakan lima orang), dipimpin oleh seseorang yang bergelar ammatowa, yang tugas utamanya mengatur penebangan pohon, pengambilan rotan, dan pemanenan lebah madu di hutan adat, serta penangkapan udang.


Kearifan masyarakat adat Kajang dalam mengelola sumber daya alamnya memang diartikulasikan lewat media-media tradisional seperti mitos, ritual, dan pesan-pesan leluhur, tetapi sesungguhnya me-ngandung pengetahuan ekologis, yaitu sis­tem pengetahuan mengenai fungsi hutan sebagai penyeimbang ekosistem. Bahkan uraian di atas memperlihatkan empat ele-men kearifan lingkungan, yaitu sistem ni-lai, teknologi, dan lembaga adat. Tidak hanya pada masyarakat adat Kajang, di Sulawesi Selatan terdapat sejumlah masya­rakat lokal yang memiliki kearifan lingku­ngan, seperti lontaraq (kitab) Sawitto yang menyimpan pengetahuan tentang cara me-motong pohon untuk tiang rumah, dan per-lunya mengganti pohon yang ditebang de­ngan pohon baru; peran lembaga adat uwaq atau uwattaq pada masyarakat Towani Tolotang di Kabupaten Sidenreng Rappang dalam mengontrol pemanfaatan sumber da­ya alam; peran ritual dan aluk pada orang Toraja yang berkaitan dengan tumbuh-tumbuhan dan binatang; upacara macceraq tasiq (membersihkan laut) yang pernah dipraktikkan oleh orang Luwu di masa lalu; dan lain-lain. Dalam kaitan dengan upaya konservasi atau pengembangan sistem pengelolaan lingkungan yang berkelan-jutan, bentuk-bentuk kearifan lingkungan sebagaimana dikemukakan ini menjadi penting dan dapat disinergikan dengan sis­tem pengetahuan modern. Hal ini juga telah ditegaskan dalam UU Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup bahwa aspek perilaku manusia me-rupakan bagian yang integral dalam pengelolaan lingkungan hidup. Contoh konservasi yang menarik dikemukakan adalah inisiatif masyarakat dalam peng-hijauan bakau di Tongke-tongke, pesisir Timur Kabupaten Sinjai pada paruh awal tahun 1990-an (Robinson & Paeni, 2005). Penanaman bakau ini dimaksudkan untuk melindungi kampung dan tambak ma­syarakat setempat dari abrasi. Mereka membuat aturan penebangan pohon yang dilakukan dalam siklus tujuh tahunan. Usa-ha ini melahirkan dampak ekonomis, di mana penduduk dapat memperoleh tam-bahan pendapatan ekonomi keluarga de­ngan mengumpulkan akar-akar bakau yang sudah mati untuk kebutuhan kayu bakar rumah tangga. Namun, belakangan usaha ini melahirkan konflik yang melibatkan masyarakat menyangkut status kepemilikan antar Dinas Kehutanan Kabupaten Sinjai yang memiliki otoritas untuk mengatur penebangan, dan Dinas Perikanan yang memiliki wewenang menebang bakau untuk dijadikan tambak.

Kembali pada system hukum yang ada, bahwa sumberdaya alam yang me-nguasai hak hidup orang banyak dikuasai oleh Negara, maka partisipasi/ keberadaan masyarakat local baik secara individu mau-pun komunal diabaikan dan kalah oleh ke-pentingan pemodal (perusahaan dan agen kapitalisme global). Pemerintah lupa akan pentingnya tradisi atau kebudayaan masya­rakat dalam mengelola lingkungan, seringkali budaya lokal dianggap sesuatu yang sudah ketinggalan di abad sekarang ini, sehingga perencanaan pembangunan se-ringkali tidak melibatkan masyarakat, padahal mereka menggantungkan hidupnya juga dari sumber daya alam itu, sehingga banyak terjadi konflik konflik.


Konflik tersebut bisa kita lihat dari sejarah pengeksploitasian sumberdaya alam dan hutan terjadi antara masyarakat yang pro dan kontra, antara masyarakat yang dirugikan dengan pihak perusahaan yang dalam hal ini sudah mendapatkan izin eks-ploitasi oleh Negara, dan juga antara ma­syarakat dengan Negara sendiri seperti yang terjadi dalam eksploitasi mineral di Papua dimana masyarakat local berhadapan dengan Freeport, masyarakat Sumatera Utara dengan Indorayon, Masyarakat Sum-bawa dengan Newmont Nusa Tenggara, dan lain sebagainya. Apabila kita melihat kasus tersebut, bisa diketahui bahwa sumber konflik tersebut antara lain per-tama, karena menguatnya intervensi modal dalam system ekonomi nasional, sebab kemajuan Negara dilihat dari pendapatan perkapitanya, sehingga berujung pada pemihakan yang berlebihan pada pemodal. Kedua, dominannya Negara atau Peme-rintah dalam memposisikan diri sebagai yang paling berhak atas penentuan arah pembangunan, sehingga sentralisasi kepu-tusan dan kebijakan pemerintah menjadi hal yang wajar saja, tidak memperdulikan keberadaan masyarakat lokal yang juga mempunyai andil dalam pemanfaatan sum­berdaya tersebut yang melahirkan me-kanisme penaklukan terhadap mereka. Pengetahuan mereka dianggap tidak ilmiah dan tidak mempunyai metode dan tidak bisa dipertanggung jawabkan, sehingga mereka menjadi termajinalkan. Ketiga, melemahnya jaminan dan perlindungan formal Negara terhadap hak-hak masya­rakat local dalam perundang-undangan nasional.Berbagai masalah, seperti Freeport, telah lama mendapat perhatian para ahli yang tergolong strukturalis. Salah satu pendekatan strukturalis adalah pendekatan aktor yang diperkenalkan Bryant and Beiley melalui buku yang berjudul The Third World Political Ecology (2001). Pendekatan ini berpijak pada konsep politicized environment yang memiliki asumsi bahwa persoalan lingkungan tidak dapat dipahami secara terpisah dari konteks politik dan ekonomi. Jadi masalah ling­kungan bukanlah masalah teknis penge-lolaan semata.


Menurut Bryant dan Beily, ada beberapa asumsi yang mendasari pende­katan aktor ini. Pertama, bahwa biaya dan manfaat yang terkait dengan perubahan lingkungan dinikmati oleh para aktor secara tidak merata. Kedua, bahwa dis-tribusi biaya dan manfaat yang tidak me­rata tersebut mendorong terciptanya ketim-pangan sosial ekonomi. Ketiga, bahwa dampak sosial ekonomi yang berbeda dari perubahan lingkungan tersebut juga me­miliki implikasi politik, dalam arti bahwa terjadi perubahan kekuasaan dalam hu-bungan satu aktor dengan lainnya.


Salah satu aktor yang penting ada­lah negara (state). Negara memiliki dua fungsi sekaligus, baik sebagai aktor peng-guna maupun pelindung sumber daya alam, yang karena itu negara juga sering me-ngalami konflik kepentingan. Namun, se­cara teoretis, banyak kritik terhadap ek-sistensi negara ini, seperti yang disam-paikan Bryant and Beiley (2001). Salah sa-tunya karena negara mempersulit upaya memecahkan masalah lingkungan, akibat negara-negara di dunia ini berusaha menge-jar pembangunan ekonomi, termasuk beru­saha menarik perusahaan multinasional un-tuk melakukan investasi di wilayahnya yang sering kali mengorbankan ling­kungan.


Aktor kedua adalah pengusaha, baik perusahaan multinasional maupun na-sional. Aktor ini yang sering disebut-sebut sebagai kekuatan kapitalisme. Aktor lain-nya aktor rakyat jelata yang merupakan pihak yang terlemah dalam politicized environment ini. Aktor rakyat jelata ini hampir selalu mengalami proses mar-ginalisasi ataupun rentan terhadap berbagai bentuk degradasi lingkungan. Degradasi lingkungan dan marginalisasi merupakan setali tiga uang. Sebab, menurut Marcuse melalui buku One Dimensional Man, do-minasi terhadap alam terkait dengan domi-nasi sesama manusia. Ini terjadi karena manusia dan alam dilihat sebagai komo-ditas dan nilai tukar semata sehingga dehu-manisasi menjadi tak terhindarkan dan be-gitu pula eksploitasi terhadap alam.


Hal ini terjadi juga karena aktor-aktor lain, seperti negara, pengusaha, atau­pun perusahaan multinasional, memiliki kekuatan politik yang lebih besar dalam mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam dibanding rakyat. Bahkan, dalam kasus Freeport ini perusahaan multina­sional memiliki kekuatan yang lebih besar daripada negara. Inilah yang kemudian membuat geram lembaga swadaya masya-rakat sebagai aktor penting lainnya sehing­ga menuntut ditutupnya sementara Free-port.


Proses pengelolaan lingkungan ada baiknya dilakukan dengan lebih meman-dang situasi dan kondisi lokal agar pende-katan pengelolaannya dapat disesuaikan dengan kondisi lokal daerah yang akan dikelola. Pandangan ini tampaknya relevan untuk dilaksanakan di Indonesia dengan cara memperhatikan kondisi masyarakat dan kebudayaan serta unsur-unsur fisik masing-masing wilayah yang mungkin memiliki perbedaan disamping kesamaan. Dengan demikian, strategi pengelolaan pada masing-masing wilayah akan berva-riasi sesuai dengan situasi setempat. Yangperlu diperhatikan adalah nilai-nilai dan norma-norma yang dianut oleh suatu masyarakat yang merupakan kearifan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan.


Pada dasarnya, budaya asli Indonesia terbukti memiliki falsafah yang pro lingkungan hidup, seperti di Jawa terkenal dengan falsafah Hamemayu Hayunig Bawana, Tri Hita Karana di Bali dan Alam Terkembang Jadi Guru di Tanah Minang. Kemudian ada juga berbagai kearifan tradisi, seperti Sasi di Maluku, Awig-Awig di Nusa Tenggara, Bersih Desa di Jawa, Nyabuk Gunung di Sunda yang menambah kekayaan budaya Indonesia yang pro lingkungan hidup. Sementara itu, Agama-agama yang dipeluk oleh masya­rakat Indonesia, mulai dari Islam, Hindu, Kristen, Budha dan Konghuchu, juga ter­bukti mengajarkan pemeluknya untuk senantiasa menjaga dan memelihara alam sekitarnya. Bahkan menurutnya, sekarang ini beberapa organisasi keagamaan di Indonesia telah membentuk institusi yang bergerak dalam pengelolaan lingkungan hidup. Dengan demikian apa yang dimak-sud dengan pengetahuan ilmiah yang oleh lowe dinamakan sebagai reason bukan satu-satunya yang bisa menjelaskan suatu permasalahan secara ilmiah, tetapi ada juga yang unreason dalam hal ini pengetahuan local yang tidak bisa diabaikan kebe-radaannya.


Kesimpulan


Penyebab degradasi lingkungan adalah adanya pengeksploitasian sumber­daya alam oleh manusia, baik oleh peme-rintah, perusahaan maupun masyarakat yang mempunyai kepentingan dan akses tersendiri. Dengan demikian terjadi kon-testasi dan konflik diantara mereka. Akibat dari kontestasi tersebut, menimbulkan ketidakmerataan pendapatan ekonomi an-tara masyarakat local dengan perusahaandan pemerintah. Ironisnya hasil dari sum-berdaya tersebut sebagian besar masuk ke Negara Negara maju. Negara maju tinggal membayar, dan Negara kita menghabisi sumberdayanya. Hal tersebut semakin meluas dari sabang sampai merauke, sebab keberhasilan pembangunan dinilai dari pendapatan perkapita. Dampak dari eks-ploitasi tersebut mengakibatkan bencana alam seperti banjir, rusaknya hayati ke-lautan, dan lain-lain. Oleh sebab itu, dalam pengeksploitasian sumberdaya alam, tidak bisa mengabaikan kearifan local, sebab ke-arifan local berfungsi sebagai penyeimbang dan penyelaras lingkungan. Demikian juga halnya dengan pengetahuan local yang selama ini dianggap tidak ilmiah, tidak mempunyai metode, tetapi dalam penera-pannya bisa terbukti keberadaannya dalam meminimalisir bencana sebagai akibat dari degradasi dan fenomena alam.


Daftar Pustaka


Agrawal, A, “Indegeneous and Scientific

Knowledge: Some Critical

Comments.Indigeneous

Knowledge      and     Development Monitor”, 3 (3) : 3-6. 1995.

Amalamien, “Penelitian Ilmiah Berbasis Pengetahuan Lokal”, 2008.

Berbagai Sumber


Bryant, Raymond L, Sinead Bailey, “Third World Political Ecology”, Routledge, New York, 1997.


Emil Salim, Pembangunan Berwawasan Lingkungan”, LP3ES, Jakarta, 1993.


Hans J. Daeng, “Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan  Tinjauan  Antropologis” ,Pustaka   Pelajar, Yogyakarta, 2008.


Hari Poerwanto, “Kebudayaan dan ling­kungan dalam Perspektif Antro-pologi”, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008.


Herbert Marcuse, “One Dimensional Man: Studies in Ideology of Advanced Industrial Society”, Routledge, New York, 2002.


Johan Iskandar, “Mitigasi Bencana Lewat Kearifan Lokal”, Kompas, 6 Oktober 2009.


Lester R, Brown, “Tantangan Masalah Lingkungan Hidup Bagaimana Membangun Masyarakat Manusia Berdasarkan Kesinambungan Ling­kungan Hidup yang Sehat”, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1992.

Lowe, Celia, “Wild Profusion: Biodiversity Conservation in an Indonesian Archipelago”, Princeton University Press. Sub-topik The Reason for Reason hal: 19-23, 2006.


Nygren, A, “Local Knowledge in the Environment-Development Discourse: From Dicotomies to Situated Knowledge”, Critique of Anthropology 19 (3): 267-288, 1999.


Watts, M, Chapter 16. Political Ecology, in Eric Sheppard and Trevor J. Barnes [eds.], A Companion to Economic Geography. Oxford: Blackwell Publisher Ltd. sub-topik tentang knowledge, power, practice halaman 263-265, 2003.

NILAI-NILAI GURU PENGGERAK (1.2.a.4.1. Forum Diskusi Eksplorasi Konsep - Modul 1.2)



 1. Apa yang dapat saya ceritakan mengenai salah SATU dari nilai-nilai GP (berpihak pada murid, inovatif, kolaboratif, reflektif, dan mandiri) yang telah membantu saya dalam melayani murid saya dengan lebih baik?. Tuliskan dalam bentuk narasi singkat untuk berbagi dalam kelompok dalam tahap Ruang Kolaborasi.


Jawaban :


Salah satu nilai dari GP yang membantu saya dalam melayani murid adalah BERPIHAK PADA MURID. Karena jika dalam proses pembelajaran senantiasa mengutamakan kebutuhan murid, maka guru akan menyusun perangkat pembelajaran yang dapat mengakomodir seluruh potensi muridnya. Tak hanya dalam proses pembelajaran, aspek emosional dapat dikontrol oleh guru menyesuaikan tingkatan perkembangan muridnya. Sehingga tujuan dalam pendidikan adalah menyiapkan murid agar mampu hidup dalam lingkungan masyarakat dan keselamatan lahir dan batin harus diawali dengan pemikiran “Berpihak Pada Murid’.

Pelayanan sesuai dengan kondisi murid yaitu sebagai bentuk keberpihakan tersebut, segala sesuatu yang saya lakukan berfokus untuk memenuhi hak-hak murid. Inovasi dan kreativitas yang saya laksanakan dalam pembelajaran di kelas atau di sekolah bertujuan untuk focus pengembangan kepribadian, bakat, dan kemampuan mental dan fisik murid. Segala keputusan yang saya ambil didasari oleh semangat untuk memberdayakan diri serta memanfaatkan aset/ kekuatan yang ada untuk menyediakan suasana belajar dan proses pembelajaran yang positif serta berkualitas bagi murid saya.


2. Apa saja 10 kegiatan di sekolah yang saya anggap masuk sebagai contoh penerapan dari peran GP yang saya pahami saat ini (pemimpin pembelajaran, pendorong kolaborasi, penggerak komunitas praktisi, mewujudkan kepemimpinan murid, menjadi coach bagi rekan guru)?. Buatlah daftarnya untuk digunakan saat berbagi ide dalam kelompok dalam tahap Ruang Kolaborasi.

Jawaban :

1. Gerakan “5S”

Senyum, Salam, Sapa , Sopan dan Santun merupakan kegiatan rutin dialkukan setiap pagi. Guru menjemput siswa digerbang sekolah dan membiasakan anak untuk saling menyapa jika bertemu di jalan dengan bahasa yang santun.

2. KELIR ”Kelas Bergilir”

Ketua kelas bergilir adalah melatih jiwa kepemimpinan siswa dalam menjadi figur di depan kelas. Dalam hal ini siswa secara bergiliran memimpin berdoa, memimpin yel-yel dan lagu nasional sebelum pembelajaran dimulai.

3. ALISA (Aku Lihat Sampah Ambil)

Kepedulian terhadap lingkungan ditunjukkan dengan kegiatan siswa mengambil daun kering dan sampah berserakan setiap melihat di lingkungan sekolah. Tak usah menunggu hari jumat untuk kegiatan jumat sehat, setiap saat ketika anak melihat sampah harus diambil dan dimasukkan sesuai kategorinya

4. Home Visit

Koordinasi dengan tri pusat pendidikan perlu dipupuk secara rutin. Kegiatan Home visit ini adalah diskusi perkembangan siswa ketika bersekolah kepada wali murid sekaligus sebagai sarana menggalai informasi , ktitik dan saran untuk peningkatan proses pembelajaran.

5. Parenting Club

Membentuk paguyuban kelas sebagai wujud kolaborasi sekolah dengan orang tua/ wali murid dalam mendidik anak dan kegiatan ini menggerakkan wali murid untuk ikut berkontribusi dalam pendidikan anak. Mengundang secara rutin wali murid ke sekolah untuk memaparkan kurikulum, visi misi dan standart minimum pembelajaran. Sehingga wali murid mengetahui apa saja yang akan dipelajari anak nantinya selama tahun pelajaran berlangsung.

6. Outing Classroom

Pembelajaran akan menyenangkan jika didukung dengan kenyamanan siswa. Sehingga sebagai variasi, siswa diajak belajar dari lingkungan terdekat. Misalnya anak diajak ke industri untuk mengetahui kegiatan dunia industri sebenarnya, melihat proses bekerja yang sesuai dengan Standar Operasionla Produksi, dll.

7. Infaq Jum’at

Sedekah atau infak jumat dilakukan secara sukarela dan rutin. Infak yang terkumpul akan digunakan untuk kegiatan keagamaan, misalnya adalah melakukan kegiatan takjil ramadhan yang dikelola oleh siswa sendiri , membantu siswa yang terkena musibah dan untuk kegiatan sosial lainnya.

8. Technology Session

Melakukan penilaian harian berbasis android sebagai wujud mendidik anak sesuai dengan kodrat zaman.

9. Bangmikat (Pengembangan Minat dan Bakat)

Mengadakan ekstrakurikuler sesuai dengan bakat, minat, potensi murid (ekstrakurikuler pramuka, voli, drumband, seni dll)

10. TiKom (Tingkatkan Kompetensi)

Guru mengikuti diseminasi pelatihan yang pernah diikuti oleh rekan guru lain sebagai wujud peningkatan kompetensi.





Monday, September 12, 2022

Nilai dan Peran Guru Penggerak (Mulai dari Diri)


Apa peristiwa positif dan negatif yang saya tuliskan di sana?
a. Peristiwa positif : 
1. Sejak SD sudah mengenal dan belajar tentang music, sampai usia SMA membentuk Band dan mengikuti Festival serta menjadi home band beberapa acara, dengan adanya bakat itu, disetiap organisasi menjadi bagian bidang pengembangan minat dan bakat
2. Kelas 5 SD saya tidak sadar bahwa menurut guru saya tulisan saya sangat rapi dibanding teman-teman yang lain, dengan itu saya selalu ditugaskan untuk menyalin notulen atau RPP guru saya itu.

b. Peristiwa Negatif :
1. Kelas 6 SD saya dikenalkan Rokok oleh teman saya, suatu malam setelah berbuka puasa sebelum tarawih. Dan orang tua mengetahui hingga marah besar.

Selain saya, siapa lagi yang terlibat di dalam masing-masing peristiwa tersebut?
Ibu yang saya sayangi, Guru saya Ibu Nina dan teman-teman saya.

Dampak emosi apa saja yang saya rasakan hingga sekarang? (silakan gunakan roda emosi Plutchik di Gambar 2 untuk mengidentifikasi persisnya perasaan Bapak/Ibu di masa itu)
a. Peristiwa Positif : Bersyukur dan Bahagia
b. Peristiwa Negatif :Khawatir, Cemas dan Takut

Mengapa momen yang terjadi di masa sekolah masih dapat saya rasakan dan masih dapat memengaruhi diri saya di masa sekarang?
Karena setiap hal yang saya lakukan memiliki kesan tersendiri untuk saya dan selalu menjadi motivasi.

Pelajaran hidup apa yang saya peroleh dari kegiatan trapesium usia dan roda emosi, terkait peran saya sebagai guru terhadap peserta didik saya?
Berupaya untuk menjadi pribadi yang baik, berpikir positif dan berupaya untuk bisa bermanfaat untuk semua orang, berusaha membantu dengan ikhlas dan menjadi teladan untuk siswa.

Bagaimana saya menuliskan nilai-nilai yang saya yakini sebagai seorang Guru, dalam 1 atau 2 kalimat menggunakan kata-kata: "guru", "murid", "belajar", "makna", "peran"?
Guru memiliki peran yang sangat penting dalam memberikan pembelajaran bermakna kepada murid yang sesuai kodratnya.




Apa nilai-nilai dalam diri saya yang membantu saya menggerakkan murid, rekan guru, dan komunitas sekolah saya?
Saya berupaya untuk menumbuhkan nilai rasa empati dan simpati, jiwa yang suka berbagi ilmu, diri yang selalu ingin belajar, punya motivasi dan keberanian, memiliki jiwa kepemimpinan

Apa peran yang selama ini saya mainkan dalam menggerakkan murid, rekan guru, dan komunitas sekolah saya?
Peran saya yaitu sebagai pendidik/ orang tua disekolah, menjadi sahabat pada rekan kerja, dan menjadi Fasilitator untuk meningkatkan minat dan bakatnya sesuai passionnya.


 

Sunday, September 4, 2022

Penerapan Nilai-Nilai Pancasila dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara

 A. Penerapan Nilai-Nilai Pancasila dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara

1. Nilai-nilai Pancasila yang Belum  dan Sudah Diterapkan dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara

Dasar kehidupan bersama di Indonesia adalah Pancasila. Kita selalu melandaskan Pancasila dalam melandaskan segala apapun. Tetapi, apakah kalian pernah berpikir untuk mengganti Pancasila dengan yang lain? Apakah Pancasila penting bagi kehidupan kita? Apa yang terjadi bila Pancasila tidak pernah dirumuskan oleh para pendiri bangsa? Apa yang terjadi jika kita tidak menjadikan Pancasila sebagai landasan kita untuk hidup berbangsa dan bernegara?

Pancasila pertama kali disebut dalam sidang pertama BPUPKI yang berlangsung pada tanggal 29 Mei hingga 1 Juni. Tepatnya pada tanggal 1 Juni, Ir. Soekarno memperkenalkan 5 sila yang terdiri dari Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme dan Peri Kemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan Yang berkebudayaan. Maka, lahirlah Pancasila.

Meskipun saat Orde Baru sempat disalahgunakan, tetapi pada jaman sekarang Pancasila digunakan oleh masyarakat Indonesia sebagai landasan dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara. Masyarakat Indonesia sadar bahwa Pancasila itu sangat penting. Mereka mengimplementasikan Pancasila ke dalam kehidupan sehari-hari.

Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam kehidupan sekarang, setiap masyarakat Indonesia dijamin kebebasan dalam menjalani kepercayaannya masing-masing. Masyarakat kini dapat menjalani kepercayaannya dengan tenang tanpa gangguan intoleransi. Di sila ini, masyarakat juga diminta agar tidak menistakan agama lain dan harus menjunjung tinggi kerukunan umat beragama antara satu dengan yang lain.

Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Di sila ini, semua warga negara Indonesia memiliki hak yang setara dalam pemenuhan kesejahteraan. Selain itu, juga kesetaraan dalam kehidupan yang layak, hak politik, hukum, dan semua hal yang telah diatur di undang-undang tanpa melihat suku dan ras warga negara Indonesia tersebut.

Sila ketiga, Persatuan Indonesia. Di sila ketiga ini, semua warga negara Indonesia tidak boleh melakukan aksi-aksi yang dapat merenggangkan persatuan dan kesatuan negara kita, seperti melakukan tindakan terorisme, intoleransi, gerakan separatisme, dan hal-hal yang serupa. Sebagai warga negara Indonesia yang baik, kita harus tetap menjaga keutuhan negara kita. Kita harus menghindari tindakan-tindakan yang dapat memecah belah negara kita.

Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan. Dapat dilihat, bahwa banyak sekali kasus ataupun masalah yang terjadi di negara kita yang menunjukkan penurunan sila keempat ini. Contohnya banyaknya kasus sengketa Pilkada yang harus berakhir di MK. Hal ini semakin parah karena masyarakat disuguhkan oleh matinya sikap dalam menghormati pendapat orang lain. Demokrasi dan rasa legowo di hati para pihak yang kalah seolah-olah sudah mati sejak lama. Sebagai warga negara yang baik, kita harus menghormati segala keputusan yang telah dirundingkan bersama.  Meskipun kalah, kita harus lapang dada dalam menerima apapun hasilnya.

Sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Di sila kelima ini, dapat dilihat bahwa tujuannya adalah agar seluruh warga negara Indonesia mendapat kesejahteraan dan keadilan yang merata. Seluruh rakyat Indonesia berhak mendapatkan penghidupan yang layak, penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia, perlindungan keamanan dan hukum yang seutuhnya, dan semua hal yang berkaitan dengan kesejahteraan warga negara.

Meskipun ada orang maupun pihak yang ingin memecah belah negara kita dengan menganggu nilai-nilai Pancasila, kita tidak boleh goyah. Kita harus berpegang teguh pada Pancasila yang menyatukan Indonesia yang sangat luas ini. Nilai-nilai Pancasila merupakan hasil kerja keras para leluhur kita yang ingin Indonesia dapat hidup dengan damai dan tenteram. Kita sebagai anak muda, harus bisa selalu menjaga keutuhan nilai-nilai Pancasila agar tidak pudar karena budaya-budaya luar yang masuk ke Indonesia. Apalagi sekarang ancaman bisa datang dari mana saja. Bisa saja dari internet, paham tidak benar, dan lain-lain.

Implementasi Pancasila sangat penting bagi kehidupan sehari-hari. Bila kita tidak menerapkan Pancasila sebagai landasan dalam berkehidupan bersama, maka dapat menimbulkan berbagai masalah yang dapat merugikan diri sendiri maupun oleh orang lain. Oleh karena itu, kita tidak boleh lupa untuk selalu melandaskan Pancasila dan tetap menjaga keutuhan nilai dari Pancasila itu sendiri. Jika bukan kita yang menjaga dan menerapkan nilai-nilai Pancasila, siapa lagi.

Pada 1 Juni, warga Indonesia merayakan hari lahir Pancasila. Namun sayangnya, hingga saat ini implementasi Pancasila belum benar-benar dilaksanakan secara murni, serta konsekuen dalam kehidupan sehari-hari berbangsa dan bernegara. "Implementasi makna Pancasila dirasakan masih jauh dari harapan. Mulai dari ketimpangan keadilan sosial di antara anak bangsa, hingga masih belum sempurnanya proses penegakan hukum di negeri ini," tegas Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon, di Jakarta, Minggu (2/6).

"Mulai dari konflik yang sering terjadi hingga korupsi yang terus merajalela. Semua ini cermin bahwa Pancasila belum sepenuhnya dihayati dan dijalankan oleh para pemimpin negeri ini," katanya lagi. Menurut Fadli, Pancasila masih berupa slogan dan wacana yang belum menjadi dasar bernegara secara benar. Padahal, lanjut dia, hadirnya Pancasila sejak Indonesia berdiri menunjukkan kekokohan dan keunggulan nilai serta makna yang dimilikinya. Menurut Fadli, Pancasila adalah sebuah penemuan oleh Bung Karno dan para pendiri bangsa yang berangkat dari kenyataan sosial budaya masyarakat.

Sebab di dalam Pancasila terkandung nilai-nilai umum sekaligus khusus yang menjadi pengikat bangsa ini. Berangkat dari ketuhanan, menghormati nilai dasar kemanusiaan, mengedepankan persatuan,dan menjunjung mekanisme mufakat sebagai karakter dasar bangsa serta keadilan yang menyeluruh, sehingga menempatkan Pancasila sebagai sebuah ideologi negara merupakan hal yang sudah final dan teruji. Pancasila merupakan pedoman negara menuju kebahagiaan, kesejahteraan, kemerdekaan, dan perdamaian. "Kami menyerukan agar seluruh elemen bangsa, terus berusaha menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam mengisi pembangunan di negeri ini." 

Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa Indonesia mempunyai nilai nilai yang wajib diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Kandungan dari sila – sila Pancasila secara garis besar terbagi atas beberapa tingkatan yang pertama adalah nilai dasar, instrumental dan praktis. Pancasila juga mengandung nilai moral dan norma yang harus diterima oleh seluruh warga negara karena hal tersebut menjadi landasan bagi kehidupan bersama di Indonesia. Meskipun Pancasila terdiri dari lima sila berbeda tetapi semua saling melengkapi dan menjadikan Pancasila sebagai satu kesatuan yang utuh untuk jadi pedoman kehidupan bersama di Indonesia.

Setiap negara pasti ingin tetap kokoh dan tidak mudah terjadi perselisihan diantara warganya , hal tersebut membuat pentingnya kita memiliki dasar negara dan ideologi yang kuat dan disusun dengan seksama. Pancasila tidak mengadopsi ideologi dari manapun sehingga nilai – nilai Pancasila kita lebih unggul dan juga lebih cocok karena berdasarkan kebiasaan dan sifat warga negara Indonesia sendiri. Alasan Pancasila sangat dibutuhkan karena kita memiliki banyak sekali suku , budaya , agama dan juga secara demografis kondisi wilayah Indonesia sangat besar dan terdiri dari pulau – pulau yang dipisahkan oleh laut yang sangat luas , ini bisa membuat Indonesia sangat cepat berkembang tetapi juga dapat membuat kehidupan di Indonesia menjadi banyak pandangan sehingga dapat menimbulkan perpecahan. Oleh karena itu norma – norma yang terkandung dalam Pancasila dapat kita gunakan dalam dasar kehidupan bangsa agar tidak mudah timbul perpecahan. Norma-norma yang terkandung didalam Pancasila, diantaranya yakni :

1) Norma Agama

       Norma agama disebut juga norma kepercayaan ini ditunjukkan kepada semua rakyat Indonesia untuk dapat beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa . Dengan adanya norma ini diharapkan setiap rakyat Indonesia dapat berpegang teguh kepada agama nya masing – masing dan saling menghargai.

2) Norma Moral atau Norma Kesusilaan

       Norma Moral adalah norma yang paling dasar dalam mengatur budi pekerti kita atau etika kita. Norma moral ini menentukan bagaimana cara kita dapat menilai lingkungan masyarakat maupun di dalam rumah. Norma ini berasal dari diri sendiri bagaimana kita menyikapi lingkungan agar kita dapat diterima dan mudah untuk bersosialisasi.

3) Norma kesopanan

       Norma ini juga disebut norma sopan santun, tata krama maupun kadang juga disebut norma adat. Norma ini didasarkan kebiasaan rakyat Indonesia dalam berlaku dimasyarakat, pada suatu daerah dengan daerah lain berbeda dasar-dasar norma kesopanannya. Sanksi dari norma ini biasanya berasal dari masyarakat setempat.

4) Norma Hukum

       Norma hukum berasal dari luar rakyat, biasanya norma hukum dibuat oleh negara atau pihak setempat yang mendapatkan kekuasaan penuh dalam mengatur dan juga memaksa setiap rakyat . Contohnya adalah negara membuat sebuah peraturan perundang-undangan tentang lalu lintas untuk mengatur rakyatnya agar lalu lintas jadi lebih teratur. Sanksi yang didapat dari norma ini biasanya didapatkan pada persidangan resmi yang dipimpin hakim.

Di era modern ini juga  ditandai dengan kemajuan teknologi  yang menimbulkan beberapa perubahan  dalam kebiasaan masyarakat, salah satu contoh dampak akibat dari era modern ini masyarakat yang mengikuti trend dari negara lain dan transformasi budaya. Dalam kondisi ini masyarakat sudah tidak memperdulikan nilai – nilai Pancasila sebagai ideologi dan pedoman hidup bagi rakyat Indonesia dalam perkembangan zaman tersebut. Sehingga banyaknya kasus – kasus yang membuat kehidupan Bersama di Indonesia menjadi tidak teratur . Dengan adanya pengaruh dunia luar , rakyat Indonesia sudah mulai merubah dasar dalam kehidupan Bersama mereka seperti : mulai hidup secara individualisme, tidak menghargai orang – orang disekitar, berpakaian seperti orang barat, melakukan kegiatan – kegiatan dan kebiasaan orang luar.

Dengan adanya perkembangan zaman tersebut, penerapan Pancasila sebagai dasar kehidupan Bersama di Indonesia wajib untuk diupdate dan diupgrade agar penyuluhan dan juga penerapan Pancasila di lingkungan masyarakat menjadi lebih fleksibel dan juga sesuai dengan adanya perkembangan zaman. Dalam hal ini biasanya para pemuda harus tetap menerapkan berbagai hal-hal positif yang terkandung dalam Pancasila agar Pancasila tidak hilang dan tetap menjadi bagian dari perkembangan zaman meskipun pada masa sekarang banyak sekali anak-anak muda yang selalu mengikuti perkembangan budaya barat dan juga lebih konsumtif daripada orang pada zaman dahulu.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam era modern yang tidak sesuai dengan kehidupan rakyat Indonesia sehari – harinya :

1) Budaya berpakaian orang luar

Budaya berpakaian yang selalu terupdate dengan style luar bahkan dengan harga yang sangat tinggi juga dapat membuat kehidupan Bersama di Indonesia menjadi terganggu, dengan update update hal tersebut biasanya menyebabkan kesenjangan dengan orang- orang disekitar sehingga norma norma yang berlaku dilingkungan masyarakat tersebut diabaikan.

2) Kebiasaan – kebiasaan orang luar

Orang – orang luar yang biasanya melakukan hal – hal yang diperlukan pada lingkungannya seperti minum – minuman keras untuk menghangatkan tubuh , tetapi beberapa orang di Indoneseia menyalahi dan meminum minuman keras tersebut tanpa alasan yang jelas sehingga membuatnya mabuk dan dapat membuat perilakunya di lingkungan masyarakat tidak terkontrol.

3) Cara berbicara

Orang luar berbicara tanpa adanya adat dan istiadat sehingga mereka biasanya berbicara dengan hal yang sama terhadap orang tua bahkan teman tanpa adanya perbedaan bahasa yang digunakan. Karena hal tersebut kita sebagai warga negara Indonesia yang baik dan anak muda yang merupakan pilar dari bangsa ini harus tetap menerapkan Pancasila dalam kehidupan sehari-harinya di Indonesia.

Berdasarkan fakta yang muncul diatas, maka ada baiknya kita membumikan kembali nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, khususnya kepada para pelajar di seluruh pelosok nusantara agar jati diri bangsa ini tetap lestari. Salah satu nilai Pancasila yang dapat kita terapkan dalam kehidupan di sekolah, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara adalah semangat bergotong royong. Apa itu gotong royong dan sejauh mana manfaat gotong royong ini akan diuraikan sebagai berikut :


2. Pengertian Gotong Royong

Gotong royong merupakan salah satu ciri khas bangsa Indonesia sebagaimana yang tertuang dalam pancasila yaitu sila ke 3 “persatuan Indonesia”. Perilaku gotong royong yang dimiliki Bangsa Indonesia sejak dahulu kala. Gotong royong merupakan kepribadian bangsa dan merupakan budaya yang telah berakar kuat dalam kehidupan masyarakat.

Gotong royong adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama dan bersifat suka rela agaer kegiatan yang dikerjakan dapat berjalan dengan lancer, mudah dan ringan. Contoh kegiatan yang dapat dilakukan secara bergotong royong antara lain pembangunan fasilitas umum dan membersihkan lingkungan sekitar.

Sikap  gotong royong itu seharusnya dimiliki seluruh elemen atau lapisan masyarakat yang ada di Indonesia. Karena dengan adanya kesadaran setiap elemen atau lapisan masyarakat melakukan kegiatan dengan cara bergotong royong.

Dengan demikian segala sesuatu yang akan dikerjakan dapat lebih mudah dan cepat diselesaikan dan pastinya pembangunan di daerah tersebut akan semakin lancar dan maju. Bukan itu saja, tetapi dengan adanya kesadaran setiap elemen dan lapisan masyarakat dalam menerapkan perilaku gotong royong maka hubungan persaudaraan atau silaturahmi akan semakin erat. Contoh kegiatan gotong royong yang sering dilakukan di masyarakat kita adalah : membersihkan jalan, membersihkan sampah, membersihkan masjid, membersihkan lingkungan sekitar.


Pengertian Gotong Royong Menurut Para Ahli

1) Menurut KBBI : 

Gotong royong adalah bekerja bersama-sama (tolong- menolong, bantu-membantu) diantara anggota-anggota suatu komunitas.

2) Menurut Koentjaraningrat (1961: 2)  

Gotong royong adalah kerjasama,  “Tidak beriman salah seorang diantara kamu sampai ia mencintai saudaranya sama dengan mencintai dirinya sendiri”.

3) Menurut Sakjoyo dan Pujiwati Sakjoyo (dalam Selvi S. Padeo, 2012 : 88)  Gotong royong merupakan adat istiadat tolong menolong antara warga dalam berbagai macam lapangan aktivitas sosial, baik berdasarkan hubungan tetangga kekerabatan yang berdasarkan  efisien yang sifatnya praktis dan ada pula aktifitas kerja sama yang lain.

4) Menurut  Koenjaraningrat (dalam Selvi S. Padeo, 2012 : 87) 

Gotong royong merupakan suatu konsep yang erat sangkut pautnya dengan kehidupan masyarakat sebagai petani pada masyarakat agraris. Gotong royong merupakan suatu sistem pengarahan tenaga tambahan dari luar keluarga untuk mengisi kekurangan dalam rangka aktifitas produksi bercocok tanam.

5) Menurut Mubyarto 

Gotong royong adalah kegiatan bersama untuk mencapai tujuan bersama.


Manfaat Gotong Royong :

1) Agar lingkungan kita dapat dirasakan kebersihan dan keindahannya

2) Dapat terjalinnya rasa solidaritas dalam lingkungan masyarakat

3) Supaya kehidupan bermasyarakat itu lebih baik dengan diadakannya gotong-royong

4) Pekerjaan selesai dengan cepat tanpa harus mengeluarkan biaya ataupun kas RT/RW, dan jika berupa pembangunan fisik gedung akan sangat menghemat anggaran, karena biaya untuk tenaga kerja berkurang dengan adanya gotong royong.

5) Tanpa terasa persaudaraan dan kebersamaan sesama warga semakin erat, yang pejabat kenal dengan tetangga yang pekerja/buruh, yang pedagang kenal dengan yang bekerja sebagai sopir, yang kaya kenal dengan yang miskin, begitu juga sebaliknya.

6) Keamanan lingkungan semakin terjamin, dengan rasa persaudaraan dan kebersamaan serta saling kenal diantara warga tentunya jika ada pendatang baru ataupun ada tamu asing yang mencurigakan tentu warga akan cepat mengetahuinya.

7) Ketentraman dan kedamaian, akan diperoleh jika antar sesama warga saling peduli dan saling membantu dengan sesama warga lainya.

8) Gotong royong tidak mengenal perbedaan, sehingga ketika di laksanakan semua akan terasa sama.


Tujuan Gotong Royong

nilai gotong royong adalah semangat yang diwujudkan dalam bentuk perilaku atau tindakan individu yang dilakukan tanpa mengharap balasan untuk melakukan sesuatu secara bersama” demi kepentingan bersama atau individu tertentu. Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam kegotong royongan, diantaranya :

1) kebersamaan

Gotong royong mencerminkan kebersamaan yang tumbuh dalam lingkungan masyarakat. Dengan gotong royong, masyarakat mau bekerja secara bersama” untuk membantu orang lain atau untuk membangun fasilitas yang bisa dimanfaatkan bersama.

2) persatuan

Kebersamaan yang terjalin dalam gotong royong sekaligus melahirkan persatuan antar anggota masyarakat. Dengan persatuan yang ada, masyakarat menjadi lebih kuat dan mampu menghadapi permasalahan yang muncul.

3) rela berkorban

Gotong royong mengajari setiap orang untuk rela berkorban. Pengorbanan tersebut dapat berbentuk apapun, mulai dari berkorban waktu, tenaga, pemikiran, hingga uang. Semua pengorbanan tersebut dilakukan demi kepentingan bersama. Masyarakat rela mengesampingkan kebutuhan pribadinya untuk memenuhi kebutuhan bersama.

4) tolong menolong

Gotong royong membuat masyarakat saling bahu-membahu untuk menolong satu sama lain. Sekecil apapun kontribusi seseorang dalam gotong royong, selalu dapat memberikan pertolongan dan manfaat untuk orang lain.

5) sosialisasi

Gotong royong dapat membuat manusia kembali sadar jika dirinya adalah makhluk sosial. Gotong royong membuat masyarakat saling mengenal satu sama lain sehingga proses sosialisasi dapat terus terjaga keberlangsungannya.

________________________________________

Tujuan Gotong Royong Bagi Diri Sendiri Dan Masyarakat

1) Mengajak kita semua untuk selalu bekerja bersama-sama, untuk lebih meningkatkan kebersamaan, karena kita sebagai makhluk sosial tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain.

2) bergotong royong juga bisa membuat kita menjadi lebih kompak dan juga bisa lebih mengenal satu sama yang lainnya. Dengan bergotong royong kita bisa saling tolong menolong misalkan, saat kita ingin mendirikan rumah, mengerjakan sawah, membantu tetangga yang sedang berduka, hingga saling bahu mambahu untuk mempejuangkan negaranya. Dengan bergotong royong semua tugas yang kita lakukan akan menjadi ringan.

3) Membuat Setiap Pekerjaan Menjadi Lebih Ringan.

4) Mempererat Rasa Persatuan dan Kesatuan.

5) Menghemat Pengeluaran.

6) Untuk menyelesai kan pekerjaan dengan cepat.

7) Untuk mengikat tali erat persaudaraan antar sesama, bisa berkumpul dengan tetangga atau siapa saja yang ada dalam pelaksanaan gotong royong.


Upaya Melestarikan Gotong Royong

Sudah menjadi harapan semua pihak agar semangat gotong royong yang semakin lama semakin memudar seiring dengan kemajuan dalam dunia digital, maka setidaknya perlu diperhatikan beberapa hal berikut agar kelestarian perilaku gotong royong dapat bertahan.


Adapun beberapa upaya yang dimaksudkan tersebut sebagai berikut.

1) Pihak masyarakat

a. Meminimalisir atau bahkan menghilangkan anggapan yang menyatakan bahwa perilaku gotong royong tidak penting . Dengan cara seperti ini maka dapat dimungkinkan akan terbangun motivasi internal pada masyarakat lapisan bawah untuk menanamkan semangat melestarikan perilaku kegotongroyongan.

b. Tidak memanfaatkan berbagai macam kasus tertentu (RAS) sebagai upaya untuk menunggangi dengan perilaku gotongroyong. Aapabila hal ini dilakukan akan menciderai nilai dari gotong royong tersebut.

c. Meminimalisir jarak yang jauh antar lapisan masyarakat. Dengan cara ini maka dimungkinkan apabila ada gotong royong yang dilakukan tidak semakin canggung dilakukan.

d. Pihak Pemerintah

e. Mampu memberi contoh atau ketedanan bagi masyarakat agar senantiasa mengaktifkan kebiasaan gotong royong dengan terjun langsung ke lapangan.

f. Memberikan reward bagi pihak tertentu yang senantiasa melestarikan tradisi gotong royong. Hal ini apabila dilakukan akan memberikan motivasi positif dan atau rangsangan agar senantiasa memasyarakat.


Kendala Gotong Royong di Era Digital

Membuat sesuatu yang baik dan melestarikan hal tersebut bukan sesuatu yang mudah untuk dilaksanakan, salah satunya semangat untuk melestarikan perilaku atau semangat kegotongroyongan di tengah masyarakat. Berikut ini akan disajikan sejumlah kendala yang dihadapi terkait dengan perilaku gotong royong yang ada di tengah masyarakat.

Terdapat anggapan bahwa gotong-royong yang dimiliki bangsa ini hanya bersifat aman dan menguntungkan bersama. Sementara gotong-royong yang susah bersama adalah sesuatu yang sulit diperoleh. Gotong-royong yang dimiliki bangsa ini adalah gotong-royong yang harus mempunyai feed back.

Adanya trend mengenai peningkatan intensitas jumlah kasus konflik/ kekerasan yang bernuansa agama dari tahun 2009 hingga 2012 menjadi catatan sendiri. Perlu dipahami bahwa adanya konflik berbasis keagamaan ini akan menjadi ancaman serius dimasa mendatang bagi keutuhan bangsa Indonesia.

1) Nilai-nilai karakter gotong royong yang dikembangkan di sekolah belum terjabarkan secara menyeluruh, sehingga berdampak pada pemahaman setengah yang dimiliki siswa mengenai perilaku gotong royong tersebut.

2) Kurangnya pemahaman pihak masyarakat bahwa saat ini tidak relevan ketika harus menggunakan prinsip gotong royong, sehingga pemahaman seperti ini akan dianggap sama dan tidak ada kesalahan di dalamnya.

3) Mulai memudarnya rasa sosial yang tertanam di masyarakat, baik wilayah di pedesaan maupun di perkotaan. Kalau diperkotaan sudah bisa kita maklumi, karena tantangan hidup sangat berat, tanpa uang bisa mati kelaparan. Sedangkan di desa masih punya kemudahan untuk bertahan hidup.

4) Kurangnya keteladanan dari pihak pemerintah sendiri, umumnya tidak pernah turun tangan ke dalam masyarakat untuk membangkitkan rasa sosial yang sudah lama hilang di dalam masyarakat.


Demikian sejumlah yang mungkin akan dapat dikaji ulang terkait dengan semakin memudarnya semangat gotong royong di masyarakat.


Asas Kegotongroyongan

Sekarang mari kita lihat pengamalan asas gotong  royong dalam berbagai kehidupan! Perwujudan partisipasi rakyat dalam reformasi merupakan pengabdian dan kesetiaan masyarakat terhadap program reformasi yang mana senantiasa berbicara, bergotong royong dalam kebersamaan melakukan suatu pekerjaan.

Sikap gotong royong memang sudah menjadi kepribadian bangsa Indonesia yang harus benar-benar dijaga dan dipelihara, akan tetapi arus kemajuan ilmu dan teknologi ternyata membawa pengaruh yang cukup besar terhadap sikap dan kepribadian suatu bangsa, serta selalu diikuti oleh perubahan tatanan nilai dan norma yang berlaku dalam suatu masyarakat.

Adapun nilai-nilai gotong royong yang telah menjadi bagian dari kebudayaan bangsa Indonesia, tentu tidak akan lepas dari pengaruh tersebut. Namun syukurlah bahwa sistem budaya kita dilandasi oleh nilai-nilai keagamaan yang merupakan benteng kokoh dalam menghadapi arus perubahan jaman.

Untuk dapat meningkatkan pengamalan azas kegotongroyongan dalam berbagai kehidupan perlu membahas latar belakang dan alasan pentingnya bergotong rotong yaitu:

1) Bahwa manusia membutuhkan sesamanya dalam mencapai kesejahteraan baik jasmani maupun rohani.

2) Manusia baru berarti dalam kehidupannya apabila ia berada dalam kehidupan sesamanya.

3) Manusia sebagai mahluk berbudi luhur memiliki rasa saling mencintai, mengasihidan tenggang rasa terhadap sesamanya.

4) Dasar keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa mengharuskan setiap manusia untuk bekerjasama, bergotong royong dalam mencapai kesehjahteraan hidupnya baik di dunia maupun di akhirat.

5) Usaha yang dilakukan secara gotong royong akan menjadikan suatu kegiatan terasa lebih ringan, mudah dan lancar.


Faktor Pendorong Gotong – royong

1) Manusia sebagai makhluk sosial.

2) Keikhlasan berpartisipasi dan kebersamaan atau persatuan.

3) Adanya kesadaran saling membantu dan mengutamakan kepentingan bersama atau umum.

4) Peningkatan atau pemenuhan kesejahteraan.

5) Usaha penyesuaian dan integrasi/penyatuan kepentingan sendiri dengan kepentingan bersama.


Upaya dan Peranan Gotong Royong

1) Peranan Masyarakat

Masyarakat di kelurahan sayang sebenarnya sangat antusias jika ada kegiatan bersama (gotong-royong), namun mungkin karena faktor penghambat di atas tidak sedikit masyarakat yang tidak ikut serta dalam kegiatan. Perlu adanya perbaikan pada sistem masyarakat itu sendiri, hal ini dapat dilakukan oleh pemimpin seperti ketua RT, RW dan Lurah/Kades untuk lebih mengoptimalkan sosialisati tentang persatuan dan kebersamaan.


2) Peranan Tokoh Masyarakat

Peranan tokoh di masyarakat kelurahan sayang sebenarnya sudah maksimal, mulai dari RT, tokoh agama sampai Kepala kelurahan. Peranan yang di berikan misalnya dalam bentuk sosialisasi. Misalnya, dari tokoh RT ada sosialisasi bahwa bergotong-royong adalah cerminan kerukunan antar tetangga, dari tokoh agama bahwa gotong-royong adalah ciri manusia yang patuh terhadap sunah rosul yaitu “sebaik-baiknya warga ialah warga yang bisa berkerja sama tanpa memandang suatu perbedaan” dan “bergotong-royonglah kamu dalam kebaikan dan jangan bergotong-royong kamu sekalian dalam keburukan”.


3) Peranan Pemerintah

Dalam hal ini pemerintah sudah mewadahi dan menyediakan sarana dan prasarana untuk berbagai kegiatan, diantaranya menyediakan gerobak pengangkut tambahan, memberikan alat kebersihan. Bahkan pemerintah sering menerjunkan langsung aparat pemerintahan seperti Polisi Militer untuk ikut serta dalam kegiatan itu, misalnya dalam kegiatan kerja bakti kebersihan.


Karakteristik Gotong royong

Perilaku gotong royong bukan sesuatu yang terjadi tanpa dapat diidentifikasi. Dengan adanya perilaku ini, maka secara tidak langsung masyarakat secara umum diberikan beberapa wacana

terkait dengan karakteristik yang melekat pada perilaku gotong royong tersebut. Berikut penjelasan yang dimaksudkan.

Gotong-royong sudah tidak dapat dipungkiri lagi sebagai ciri khas bangsa Indonesia yang turun temurun, sehingga keberadaannya harus dipertahankan. Pola seperti ini merupakan bentuk nyata dari solidaritas mekanik yang terdapat dalam kehidupan masyarakat, sehingga setiap warga yang terlibat di dalamnya memiliki hak untuk dibantu dan berkewajiban untuk membantu, dengan kata lain di dalamnya terdapat azas timbal balik.

Beberapa karakteristik yang dimungkinkan cukup merepresentasikan perilaku gotong-royong dapat dinyatakan sebagai berikut.

1) Sebagai sifat dasar bangsa Indonesia yang menjadi unggulan bangsa dan tidak dimiliki bangsa lain.

2) Terdapat rasa kebersamaan dalam setiap pekerjaan yang dilakukan. Sebagai bahan pertimbangan bahwa nilai-nilai kebersamaan yang selama ini ada perlu senantiasa dijunjung tinggi dan dilestarikan agar semakin lama tidak semakin memudar.

3) Memiliki nilai yang luhur dalam kehidupan.

4) Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, karena di dalam kegiatan gotong-royong, setiap pekerjaan dilakukan secara bersama-sama tanpa memandang kedudukan seseorang tetapi memandang keterlibatan dalam suatu proses pekerjaan sampai sesuai dengan yang diharapkan.

5) Mengandung arti saling membantu yang dilakukan demi kebahagiaan dan kerukunan hidup bermasyarakat.

6) Suatu kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama dan sifatnya sukarela tanpa mengharap imbalan apapun dengan tujuan suatu pekerjaan atau kegiatan akan berjalan dengan mudah, lancar dan ringan.


Demikian beberapa karakteristik yang cukup representasif terkait dengan seluk beluk perilaku gotong royong yang ada di masyarakat.


Pendekatan Gotong Royong Melalui Pendidikan

Rasa kesadaran untuk bergotong royong yang mulai hilang harus ditumbuhkan. Rasa gotong royong dapat distimulasi dan ditumbuhkan lagi mulai dari sistem pendidikan. Dari pendidikan dimulai untuk diajarkan seberapa pentingnya gotong royong. Dengan penanaman dan pengenalan nilai gotong royong sebagai nilai pokok akan membawa ke arah pemahaman konsep dan pengertian manfaat dari gotong royong itu sendiri.

Sehingga gotong royong menjadi nilai luhur yang terus dijaga dan diturunkan untuk generasi seterusnya. Salah satu saran untuk menanamkan nilai gotong royong melalui system pendidikan yaitu memasukkan materi gotong royong pada salah satu mata pelajaran pokok. Bukan hanya berhenti disitu, namun materi ini terus ada pada setiap tahunnya sehingga nilai-nilai dari gotong royong tidak mudah terlupakan.

Lebih baik lagi apabila ada praktik langsung untuk materi gotong royong karena segala sesuatu lebih mudah dipahami dan diambil hikmahnya apabila kita langsung melaksanakannya. Diharapkan dengan ini dapat ditanamkan nilai gotong royong dengan baik.


Pendekatan Gotong Royong Melalui Pekerjaan

Kebutuhan akan sehari-hari dari setiap individu akan membuat salah satu nilai gotong royong memudar. Tidak memikirkan kepentingan bersama melainkan bekerja sendiri untuk mencapai tujuan yang diharapkan atau bahkan saling “membunuh” satu sama lain untuk mencapainya. Pada zaman modern ini rasa gotong royong sebenarnya masih ada dalam setiap diri masyarakat Indonesia tetapi gotong royong sekarang adalah menjadi sarana untuk mencapai keinginannya sendiri.

Contohnya, seseorang memerlukan bantuan meminta tolong pada orang lain untuk membantu dia. Ketika pekerjaannya sudah selesai tidak ada tidak ada terjadi suatu hubungan antara orang yg minta tolong dengan orang yang diminta tolong karena hubungan mereka hanya sebatas pekerjaan itu saja. Hal ini membuktikan bahwa gotong royong adalah salah satu perekat bangsa ini telah hilang, karena ingin mencari keinginan sendiri.

Salah satu cara untuk menumbuhkan gotong royong ini pada bidang pekerjaan adalah dengan mengadakan suatu event pada setiap kegiatan perkantoran. Event tersebut bukan hanya event tahunan biasa, melainkan event dimana dapat mempererat ikatan persaudaraan satu sama lain. Event seperti Family day pada bidang pekerjaan akan, cukup membantu untuk menumbuhkan dan memperkuat silaturahmi dan persaudaraan serta menumbuhkan kepedulian terhadap sesama. Mungkin hal ini sepele, tapi jika dilakukan secara teratur akan menimbulkan kembali gotong royong tersebut.

________________________________________

Contoh Gotong Royong

Contoh Pasca letusan Gunung Kelud, mereka pun mulai berbenah

Sejumlah siswa SDN 02 Sumberari membersihkan pasir dan abu vulkanik erupsi Gunung Kelud di sekolah mereka, Nglegok, Blitar, Jawa Timur, Senin (17/2). Pada hari pertama masuk sekolah pasca erupsi Gunung Kelud, kegiatan belajar mengajar digantikan dengan bergotong royong membersihkan material vulkanik. ANTARA FOTO/Sahlan Kurniawan.


Contoh Membersihkan Lingkungan Sekolah Menjelang Libur Semester

Tidak terasa ulangan semester telah selesai, tidak lama lagi bagi raport dan liburan. Sebelum liburan, di sekolah diadakan kegiatan gotong royong membersihkan lingkungan sekolah.

Seluruh warga sekolah ikut serta dalam kegiatan tersebut, ada yang mencangkul, memotong rumput, menyapu, dan membuang sampah. Semua siswa terlihat bersemangat bekerja karena sebentar lagi liburan, Sebagian ada yang bekerja sambil bercanda dengan teman temannya juga.


Contoh Warga di Kecamatan Eris Gotong Royong Bersihkan Trotoar Jalan

Sejumlah warga di kecamatan Eris, Jumat (14/06), terlihat bergotong royong untuk membersihkan ruas jalan raya yang menghubungkan kecamatan Eris dan kecamatan Kakas.

Camat Kecamatan Eris Dedy Tumarar menjelaskan, pemerintah kecamatan memang telah memberikan instruksi kepada para hukum tua desa di kecamatan Eris, agar supaya menghimbau warga untuk bersama-sama gotong royong membersihkan jalan tersebut. Menurutnya, selain untuk memelihara kebersihan lingkungan, pembersihan semak-semak yang tumbuh disisi jalan juga dapat mengurangi resiko kecelakaan.


“Semak yang tumbuh disisi jalan, apalagi yang ada ditikungan jalan, bisa menghalangi pandangan pengendara kendaraan bermotor, dan itu berpotensi untuk mengakibatkan terjadinya kecelakaan,” ucap Tumarar.


Dia menambahkan, kegiatan gotong royong membersihkan lingkungan pada setiap hari Jumat, memang sudah menjadi agenda mingguan di kecamatan Eris. Selain itu, dia juga berharap, kegiatan seperti ini dapat memberi manfaat yang baik serta mendorong semangat warga, untuk lebih giat menjaga dan memelihara kebersihan lingkungan. (Jeksen Kewas).


Contoh yang kedua, ialah kerja bakti kebersihan.

Masyarakat di Kelurahan sayang sadar betul bahwa kebersihan itu adalah keindahan, kedamaian dan kebersihan itu adalah sebagian dari pada iman, maka dari itu pada saat diadakan kerja bakti kebersihan antusias warga masyarakan sangat tinggi. Antusias warga itu terlihat dari banyaknya warga masyarakat yang turun langsung ke lapangan untuk membersihkan sampah, rumput liar, memperbaiki selokan, dan masih banyak kegiatan lainnya.


Dan ada juga warga masyarakat yang dengan sengaja dan ikhlas memberikan makanan dan minuman kepada warga lainnya yang sedang bekerja, sehingga rasa persatuan dan kebersamaannya pun menjadi semakin tinggi dan baik.


Contoh Kegiatan Kerja bakti di hari minggu

1) Membangun rumah salah satu warga, hal ini banyak dilakukan pedesaan sebagai wujud kerukunan dan kebersamaan yang terkadang membangun rumah hanya dalam waktu satu hari saja, namun sayangnya gotong royong yang di jawa disebut sebagai sambatan ini telah banyak ditinggalkan seiring maraknya orientasi kehidupan materialistis sehingga setiap pekerjaan dinilai dengan uang atau benda yang dapat dirasakan nilainya secara langsung.

2) Membangun masjid sebagai tempat ibadah, puji syukur karena kegiatan ini tidak terkikis oleh zaman sehingga banyak ditemukan bangunan masjid berarsitektur indah sebagai bukti berjalanya kegiatan kerja bakti ini, salah satu bangunan hasil gotong royong yaitu masjid agung demak yang telah berusia ribuan tahun.

3) Membersihkan lingkungan, pembersihan got dan sampah lingkungan bisa menjadi bagian dari kegiatan gotong royong kerja bakti di hari minggu untuk mempererat kebersamaan warga seperti daerah perumahan di kota besar yang bepotensi memunculkan gaya hidup individualis atau istilah umumnya tidak kenal tetangga.

4) Membangun jalan sebagai fasilitas umum, ternyata banyak ditemukan jalan yang dibangun hasil swadaya iuran dan dikerjakan oleh masyarakat.

5) Membangun sarana olahraga bersama seperti lapangan sepak bola dan tempat olahraga jenis lainya.

6) Membangun pagar umum, pada lingkungan perumahan yang belum dilengkapi pagar oleh pihak developer terkadang terjadi inisiatif warga untuk mndirikan pagar dengan alasan estetika atau keamanan lingkungan.

7) Menanam pohon untuk penghijauan lingkungan.

8) Melakukan rapat warga dihari minggu juga bisa dikategorikan sebagai bagian dari gotong royong.

Apapun tipe gotong royong atau kerja bakti yang dilakukan semoga bisa membawa kebaikan bagi seluruh warga. hendaknya kegiatan ini dilakukan tanpa rasa terpaksa karena rasa ikhlas akan membuat suatu kenyamanan dalam bekerja, dan yang tak kalah penting adalah bukanlah bagaimana wujud kerja bakti itu namun lebih utama pada nilai-nilai yang terkandung didalamnya.


Featured Post

12 Langkah Proses Membuat Kain Batik Tulis!

12 Langkah Proses Membuat Kain Batik Tulis! Oleh : Ucke Rakhmat Gadzali, S.Pd. Kain batik tulis merupakan warisan budaya tradisional Indones...