Wednesday, September 20, 2023

Partisipasi Masyarakat dalam Melindungi dan Menegakkan Hukum di Indonesia

KEGIATAN PEMBELAJARAN 4

Partisipasi Masyarakat dalam Melindungi dan Menegakkan Hukum di Indonesia

A. Tujuan Pembelajaran

Setelah kegiatan pembelajaran terakhir di modul ini selesai diharapkan kalian mampu berpartisipasi dalam melindungi dan menegakkan Hukum di Indonesia.

B. Uraian Materi

Penegakan dan perlindungan hukum perlu dilakukan secara terus menerus dan bertahap oleh seluruh pihak. Berdasarkan Pasal 27 Ayat (1), yakni segala warga negara bersamaan dengan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintah dan wajib  menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Untuk itu jelaslah sudah dasar hukum yang mewajibkan masyarakat berpartisipasi dalam perlindungan dan penegakan hukum. Hal ini dilakukan tentunya untuk mencapai supremasi hukum, keadilan dan menjami ketertiban dalam masyarakat yang sudan jelaskan diawal pembelajaran sebelumnya.

Partisipasi warga negara juga mutlak diperlukan dalam penegakan dan perlindungan hukum. Partisipasi secara dua arah diperlukan agar jaminan keadilan dapat berjalan dengan efektif. Partisipasi warga negara dalam upaya peningkatan jaminan keadilan dapat dilakukan dengan melakukan cara-cara berikut ini.

1. Mentaati setiap peraturan yang berlaku di negara Republik Indonesia.

2. Menghormati setiap keputusan hukum yang dibuat oleh lembaga peradilan.

3. Memberikan pengawasan terhadap jalannya proses-proses hukum yang sedang berlangsung.

4. Memberi dukungan terhadap pemerintah dalam upaya meningkatkan jaminan keadilan.

5. Memahami dan menghormati hak dan kewajiban setiap warga negara


Partisipasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti perihal turut berperan serta dalam suatu kegiatan; keikutsertaan; peran serta;. Partisipasi masyarakat merupakan unsur penting dalam perlindugan dan penegakan hukum. Masyarakat yang aktif dapat membantu menghilangkan kemungkinan terjadinya pengabaian terhadap kasus hukum. Hal ini karena aparat penegak hukum mau tidak mau harus bekerja ekstra keras karena diawasi oleh masyarakat sendiri. Selain itu ada berbagai cara bentuk partisipasi masyarakat dalam melindungi dan menegakkan hukum di Indonesia. Beberapa cara yang bisa kita lakukan adalah sebagai berikut.

1. Sosialisasi sejak dini mengenai hukum dan peraturan-peraturan di dalamnya. Sosialiasasi adalah tahap awal yang diperlukan untuk memberitahukan atau tentang undang-undang, hukum, tata tertib dan norma-norma yang ada dimasyarakat. Salah satu contohnya adalah dengan pola pendidikan disekolah-sekolah pada mata pelajaran PPKn, Sosiologi, Pendidikan Agama dan lain-lain yang dalamnya akan disertai dengan dengan contoh-contoh nyata dalam kehidupan.

2. Menanamkan sikap patuh pada akan hukum

Sikap patuh memberikan gambaran tentang keterlaksanaan undang-undang, hukum, tata tertib dan norma-norma yang sudah disosialisasikan agar dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Jadi tidak hanya belajar tentang teori hukum, tetapi harus diimplemetasikan sungguh-sungguh.

3. Membangun kesadaran hukum sejak dini.

Tingginya kesadaran hukum disuatu wilayah akan memunculkan masyarakat yang beradab. Karena itu, kesadaran hukum perlu dibangun sejak dini, tidak harus menunggu setelah terjadi pelanggaran dan penindakan oleh penegak hukum. Upaya pencegahan ini sangat penting dan harus dimulai dari dalam keluarga sebagai bagian terkecil masyarakat. Soerjono Soekanto (1982: 140) menyebutkan empat tahapan suatu masyarakat untuk dapat memiliki kesadaran hukum yang baik, yaitu: (1) pengetahuan hukum, (2) pemahaman hukum, (3) sikap hukum, dan (4) pola perilaku hukum. Pernyataannya tersebut menunjukkan bahwa tahu secara kognitif tidak menjamin orang memiliki kesadaran hukum. Pengetahuan ini harus ditingkatkan menjadi pemahaman.

4. Memahami akan pentingnya menjunjung hukum dan kehidupan sehari-hari. Salah satu nilai yang diambil dalam penegakkan hukum adalah nilai keadilan. Hal ini menyakinkan kita untuk menyadari jika hukum dibentuk bersumber pada keadilan dan ketertiban yang ada di masyarakat. Jika semua menyadari harus berbuat adil maka pelanggaran-pelanggaran hukum tidak akan terjadi.

5. Menciptakan para penegak hukum yang profesional dan bersih

Penegak hukum disebut profesional karena kemampuan berpikir an bertindak malampaui hukum tertulis tanpa menciderai nilai keadilan. Sebagai seorang yang profesional maka dalam menegakkan keadilan, dituntut kemampuan penegak hukum mengkritisi hukum dan praktik hukum. Keadilan saja tidak cukup. Diperlukan keutamaan bersikap profesional: berani menegakkan keadilan. Namun dalam praktiknya, masih banyak penegak hukum yang tidak profesional dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Untuk itulah diperlukan penegak hukum yang dapat menaati kaidah-kaidah dan norma-norma yang ada.

6. Memupuk budaya hukum

Budaya hukum adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan hubungan antara perilaku sosial dalam kaitannya dengan hukum. Secara akademis, budaya hukum mengkaji peran dan aturan hukum dalam suatu masyarakat. Budaya hukum adalah unsur dari sistem hukum yang paling sulit untuk dibentuk karena membutuhkan jangka waktu relatif panjang. Hal ini terjadi karena budaya berkaitan dengan nilai- nilai. Apa yang berkaitan dengan nilai, pasti membutuhkan proses internalisasi agar nilai-nilai itu tidak sekadar diketahui, tetapi juga dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

C. Rangkuman

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa:

  1. Penegakan dan perlindungan hukum perlu dilakukan secara terus menerus dan bertahap oleh seluruh pihak.
  2. Partisipasi warga negara juga mutlak diperlukan dalam penegakan dan perlindungan hukum.
  3. Beberapa cara yang bisa kita lakukan adalah sebagai berikut sosialisasi sejak dini mengenai hukum dan peraturan-peraturan di dalamnya, Menanamkan sikap patuh pada akan hukum, membangun kesadaran hukum sejak dini. Memahami akan pentingnya menjunjung hukum dan kehidupan sehari-hari, menciptakan para penegak hukum yang profesional dan bersih serta memupuk budaya hukum.


Study Kelayakan Usaha

Study Kelayakan Usaha 


Studi kelayakan bisnis menurut Husein Umar, 2003, yaitu penelitian terhadap rencana bisnis yang tidak hanya menganalisis layak atau tidaknya bisnis dibangun tetapi juga saat dioperasionalkan secara rutin dalam rangka pencapaian keuntungan maksimum dalam waktu yang tidak ditentukan, misalnya rencana peluncuran produk baru. 

Menurut Yacob Ibrahim, 2009 yang dimaksud studi kelayakan bisnis adalah kegiatan untuk menilai sejauh mana manfaat yang dapat diperoleh dalam melaksanakan suatu kegiatan usaha/proyek. 

Dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa studi kelayakan bisnis adalah menganalisis faktor-faktor bisnis dalam menentukan rencana bisnis tersebut harus dilaksanakan, tidak dilaksanakan ataupun ditunda, dan untuk menilai kelayaka dalam pengembangan sebuah usaha. 

Manfaat studi kelayakan bisnis antara lain digunakan untuk: 

1. Merintis usaha baru 

2. Mengembangkan usaha yang sudah ada 

3. Memilih jenis usaha atau investasi yang paling menguntungkan 

 


Tahapan Studi kelayakan usaha dapat dilakukan dengan cara : 

a. Tahap penemuan ide 

Suatu produk yang akan dibuat haruslah berpotensi untuk laku dijual dan menguntungkan 

b. Tahap penelitian usaha 

Dimulai dengan mengumpulkan data, mengolah, menganalisis dan menyimpulkan 

c. Tahap evaluasi 

Mengevaluasi usulan proyek yang akan didirikan, mengevaluasi proyek yang sedang dibangun, dan mengevaluasi bisnis yang sudah di operasionalkan secara rutin 

d. Tahap pengurutan usulan yang layak 

Jika terdapat lebih dari satu usulan rencana bisnis, maka perlu dilakukan pemilihan rencana bisnis yang dianggap paling penting untuk direalisasikan 

e. Tahap perencanaan pelaksanaan 

Setelah rencana bisnis di pilih untuk direalisaskan, perlu di buat rencana kerja pelaksanaan proyek. 

f. Tahap pelaksanaan 

Setelah semua persiapan selesei, tahap berikutnya adalah merealisasikan pelaksanaan. 

g. Tujuan studi kelayakan bisnis/usaha: 

Untuk menghindari keterlanjuran penanaman modal yang terlalu besar pada peluang bisnis yang kurang menguntungkan. 



Friday, September 15, 2023

Bahan Bacaan - Unit 4. Studi Kasus Pelanggaran Norma dan Regulasi


Studi Kasus Pelanggaran Norma dan Regulasi

Pada unit ini akan dibahas mengenai contoh-contoh kasus di lingkungan terdekat, yang menunjukkan kasus pelanggaran norma dan regulasi. Hal ini bisa diamati dari pihak yang sering berinteraksi di sekolah, terutama dalam proses belajar mengajar, dapat diidentifikasi di antaranya adalah interaksi antara guru dan peserta didik, guru dengan guru, antarpeserta didik, guru dengan orang tua/wali, sekolah dengan orang tua/wali, sekolah dengan lingkungan luar sekolah, dan seterusnya.

Di antara hal yang menjadi objek kesepakatan juga bervariasi, bergantung pada hal-hal yang nantinya berpengaruh, terutama pada proses belajar mengajar. Dalam kesepakatan tersebut, pihak sekolah biasanya telah memiliki sejumlah peraturan yang dibuat dan disepakati dalam rangka mengatur agar proses belajar mengajar, interaksi, dan tujuan kegiatan belajar mengajar dapat berjalan dengan baik.

Kesepakatan dalam lingkungan sekolah juga mempunyai konsekuensi (Dampak Pelanggaran). Berbagai macam konsekuensi atas pelanggaran bisa menimpa kepada peserta didik, guru, ataupun anggota sekolah yang lain. Adapun berbagai bentuk konsekuensi tersebut, di antaranya berupa teguran, pemberhentian dalam proses belajar mengajar, drop out, hingga pada proses hukum dengan pihak aparatur penegak hukum jika pelanggaran kesepakatan sudah pada ranah pelanggaran hukum formal, karena kesepakatan atau disebut juga pemufakatan diartikan sebagai sikap yang menyepakati akan satu atau beberapa hal oleh satu pihak dengan pihak lain, di mana kesepakatan tersebut dilakukan dalam rangka mencapai tujuan tertentu.

Sebagaimana telah dipelajari pada materi sebelumnya, norma merupakan kesepakatan dari berbagai pihak. Norma adalah sebuah kesepakatan yang dibangun oleh masyarakat. Norma dibuat sebagai aturan bersama, sebagai cara hidup bersama, dan sekaligus menjadi pemandu untuk mencapai tujuan bersama. Kesepakatan dibuat melalui beberapa cara, melewati beberapa pertemuan dan diskusi yang mendalam, dan melibatkan banyak orang dengan segala kepentingannya. Karena itu, ia harus kita terima dan patuhi, meskipun kita bukanlah orang yang terlibat langsung dalam proses pengambilan kesepakatan tersebut.

Pertanyaannya, bagaimana jika ada seorang warga masyarakat yang melakukan pelanggaran terhadap hasil kesepakatan tentang norma, baik yang bersumber dari agama, hukum, kesusilaan, maupun sosial? Pelanggaran-pelanggaran tersebut, misalnya melakukan tindakan korupsi, menyalahgunakan narkoba, melakukan tawuran, melakukan seks bebas, atau perbuatan-perbuatan lainnya yang dilarang oleh norma. Tentu, segala perbuatan melanggar norma yang telah disepakati akan ada konsekuensi atau akibatnya, baik akibat hukum maupun akibat-akibat lainnya, seperti sanksi sosial.

Baca tentang Dinamika Pelanggaran Hukum 

Contoh, ketika seorang warga masyarakat melanggar kesepakatan yang diatur oleh norma agama, dia akan mendapatkan konsekuensi atau akibat yang diatur oleh ajaran agama tersebut, baik dia akan menerimanya ketika masih hidup di dunia ataupun kelak setelah dia meninggal dunia. Contoh lain, ketika warga masyarakat melanggar kesepakatan yang telah digariskan dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu norma kemasyarakatan, dia akan mendapatkan konsekuensi berupa sanksi sosial dari masyarakat tersebut, apakah sanksinya berbentuk pengucilan atau bahkan pengusiran.
Berikutnya, contoh yang lebih tegas ialah ketika ada seorang warga masyarakat yang melanggar kesepakatan sebagaimana diatur oleh norma hukum, dia akan mendapatkan konsekuensi berupa hukuman yang sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Misalnya, seseorang yang melakukan tindak pencurian, maka ia telah melanggar Pasal 362 KUHP, yang menyatakan, “Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima Tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.


Rangkuman
  1. Norma merupakan kesepakatan dari berbagai pihak. Karena itu, ia harus kita terima dan patuhi, meskipun kita bukanlah orang yang terlibat langsung dalam proses pengambilan kesepakatan tersebut.
  2. Contoh, ketika seorang warga masyarakat melanggar kesepakatan yang diatur oleh norma agama, dia akan mendapatkan konsekuensi atau akibat sebagaimana yang diatur oleh ajaran agama tersebut, baik dia akan menerimanya ketika masih hidup di dunia maupun kelak setelah dia meninggal dunia.
  3. Seseorang yang melakukan tindak pencurian, maka ia telah melanggar Pasal 362 KUHP, yang menyatakan, “Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima Tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.


KUHP PASAL 364-370 Tentang Pencurian dan Kekerasan

 Pasal 362 KUHP: Pasal ini menjelaskan tentang pencurian, yang terjadi ketika seseorang mengambil barang milik orang lain dengan maksud untuk memiliki barang tersebut secara melawan hukum. Pasal ini juga menyebutkan bahwa pencurian dapat dihukum dengan pidana penjara selama maksimal 5 tahun.


Pasal 363 KUHP: Pasal ini membahas tentang pencurian dengan pemberatan, yang terjadi ketika seseorang melakukan pencurian dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang, menggunakan senjata, atau bersekongkol dengan orang lain. Pencurian dengan pemberatan dapat dikenai pidana penjara selama maksimal 9 tahun.


Pasal 364 KUHP: Pasal ini mengatur tentang pencurian dengan pemberatan yang mengakibatkan kematian, luka berat, atau luka-luka berat pada orang yang menjadi korban. Pencurian semacam ini dapat dikenai pidana penjara seumur hidup atau pidana mati.


Pasal 365 KUHP: Pasal ini mengatur tentang pencurian dengan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang dengan maksud untuk mencuri. Pencurian semacam ini dapat dikenai pidana penjara selama maksimal 9 tahun.


Pasal 366 KUHP: Pasal ini menjelaskan tentang pencurian dengan pemberatan yang dilakukan oleh pegawai negeri atau pegawai swasta yang dalam kedudukan sebagai pengurus, pengawas, atau pemegang jabatan yang melibatkan pengelolaan barang. Pencurian semacam ini dapat dikenai pidana penjara selama maksimal 12 tahun.


Pasal 367 KUHP: Pasal ini membahas tentang pencurian dengan pemberatan yang dilakukan oleh orang yang secara teratur melibatkan diri dalam kegiatan pencurian. Pencurian semacam ini dapat dikenai pidana penjara selama maksimal 12 tahun.


Pasal 368 KUHP: Pasal ini mengatur tentang pencurian dengan pemberatan yang dilakukan dalam kelompok atau bersama-sama dengan paling sedikit tiga orang. Pencurian semacam ini dapat dikenai pidana penjara selama maksimal 12 tahun.


Pasal 369 KUHP: Pasal ini membahas tentang pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan matinya orang yang menjadi korban. Pencurian semacam ini dapat dikenai pidana penjara seumur hidup atau pidana mati.


Pasal 370 KUHP: Pasal ini mengatur tentang pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat pada orang yang menjadi korban. Pencurian semacam ini dapat dikenai pidana penjara selama maksimal 12 tahun.

Sunday, September 10, 2023

Proyek Kewarganegaraan

Proyek Kewarganegaraan

Mari Menyelesaikan Masalah


1. Pilihlah oleh kelasmu salah satu masalah di bawah ini.

  • Maraknya tawuran pelajar. 
  • Geng motor yang meresahkan masyarakat.
  • Makin meningkatnya kasus tindak pidana korupsi oleh para pejabat.

2. Bentuklah kelasmu dalam 4 kelompok untuk membahas satu masalah yang dianggap paling penting oleh kelasmu!

3. Setiap kelompok mengkaji permasalahan tersebut dan membuat laporan (portofolio) dengan pembagian tugas sebagi berikut.


a. Kelompok 1: 

Menjelaskan masalah secara tertulis dilengkapi gambar, foto, karikatur, judul surat kabar dan ilustrasi lain disertai sumber-sumber informasinya tentang hal-hal berikut.

  • Bagaimana jalannya masalah? 
  • Seberapa luas masalah tersebar pada bangsa dan negara?
  • Mengapa masalah harus ditangani pemerintah dan haruskah seseorang bertanggung jawab memecahkan masalah?

  • Adakah kebijakan tentang masalah tersebut?

  • Adakah perbedaan pendapat, siapa organisasi yang berpihak pada masalah ini?

  • Pada tingkat atau lembaga pemerintah apa yang bertanggung jawab tentang masalah ini?


b. Kelompok II: 

Merumuskan kebijakan alternatif untuk mengatasi masalah. Menjelaskan secara tertulis dilengkapi gambar, foto, karikatur dan ilustrasi lain disertai sumber-sumber informasinya tentang hal-hal berikut.

  • Kebijakan alternatif yang berhasil dihimpun dari berbagai sumber informasi yang dikumpulkan.
  • Kajian terhadap setiap kebijakan alternatif tersebut dengan menjawab pertanyaan kebijakan apakah yang diusulkan dan apakah keuntungan dan kerugian kebijakan tersebut


c. Kelompok III: 

Mengusulkan kebijakan publik untuk mengatasi masalah dilengkapi foto, judul surat kabar, dan ilustrasi lain disertai sumber-sumber informasinya tentang hal-hal tersebut. 

  • Kebijakan yang diyakini akan dapat mengatasi masalah.
  • Keuntungan dan kerugian dari kebijakan tersebut. 
  • Kebijakan tersebut tidak melanggar peraturan perundang-undangan.
  • Tingkat atau lembaga pemerintah mana yang harus bertanggung jawab menjalankan kebijakan yang diusulkan. 

d. Kelompok IV: 

Membuat rencana tindakan yang mencakup langkah- langkah yang dapat diambil agar kebijakan yang diusulkan diterima dan dilaksanakan oleh pemerintah. Hal ini berupa penjelasan tentang hal-hal tersebut

  1. Bagaimana dapat menumbuhkan dukungan pada individu dan kelompok dalam masyarakat terhadap rancangan tindakan yang diusulkan.
  2. Mendeskripsikan individu atau kelompok yang berpengaruh dalam masyarakat yang mungkin hendak mendukung rancangan tindakan. kelas dan bagaimana kalau dapat memperoleh dukungan tersebut.
  3. Menggambarkan pula kelompok di masyarakat yang mungkin menentang rancangan tindakan dan bagaimana Anda dapat meyakinkan mereka untuk mendukung rencana tindakan. 
  4. Setiap kelompok menyajikan/mempresentasikan hasilnya di hadapan juri atau guru yang mewakili sekolah.

Unit 3 - Konsekuensi Pelanggaran Kesepakatan

Konsekuensi Kesepakatan Norma Sekolah

        Kesepakatan atau disebut juga pemufakatan diartikan sebagai sikap yang menyepakati akan satu atau beberapa hal oleh satu pihak dengan pihak lain, di mana kesepakatan tersebut dilakukan dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Kesepakatan memiliki prinsip-prinsip yang adil, tidak memberatkan hanya salah satu pihak, bertanggung jawab, dan memiliki konsekuensi hukum atau sanksi jika terjadi pelanggaran atau penyelewengan atas kesepakatan yang telah dibuat bersama.

        Kesepakatan juga berkorelasi dengan norma. Sebab, norma merupakan kesepakatan sosial. Kisi-kisi kesepakatan dapat bersumber dari mana pun: dari ajaran agama, adat, atau budaya. Usia norma dapat panjang, dapat pula pendek. Terkadang, norma menyesuaikan perkembangan zaman. Oleh karena itu, aturan main dalam norma dapat berubah setiap saat. Terkadang rigid (kaku), terkadang sangat fleksibel.

Antara Norma dan Kesepakatan

Lalu, apa perbedaan norma dengan kesepakatan? Norma adalah sebuah kesepakatan yang dibangun oleh masyarakat. Norma dibuat sebagai aturan bersama, sebagai cara hidup bersama, dan sekaligus menjadi pemandu untuk mencapai tujuan bersama. Kesepakatan dibuat melalui beberapa cara, melewati beberapa pertemuan dan diskusi yang mendalam, dan melibatkan banyak orang dengan segala kepentingannya.

Sebagai sebuah kesepakatan, norma dibuat untuk dijalankan, bukan untuk dilanggar. Siapa pun anggota masyarakat yang tercakup dalam wilayah geografis ataupun non- geografis norma, harus melaksanakan kesepakatan yang dirumuskan dalam bentuk norma, baik tertulis maupun tidak tertulis.

Itulah mengapa norma harus dibuat sebagai cermin dari kehendak bersama. Sebagai refleksi akhir dari berbagai pertimbangan yang melibatkan berbagai tokoh masyarakat dari agamawan, ahli hukum, pemegang adat istiadat, dan ahli moral (etika). Norma dibuat bukan sebagai cara untuk melegalkan tindakan yang bertentangan dengan sumber-sumber norma itu sendiri, yakni agama, hukum, sosial, dan kesusilaan.

Oleh karena itu, norma harus ditaati. Apabila ada yang melanggar norma, harus siap menerima konsekuensinya. Konsekuensi bukan hanya terhadap pelaku pelanggaran, tetapi juga dampak yang ditimbulkan terhadap masyarakat. Seperti halnya tawuran, sudah barang tentu ada kesepakatan umum bahwa hal tersebut tidak diperbolehkan. Ada banyak dampak negatif yang ditimbulkan oleh perilaku massal tersebut.

Secara individu, tentu saja ada luka batin dan lahir. Selalu terpelihara hati yang mendendam, tanpa kasih sayang. Secara lahir, banyak yang harus dirawat di rumah sakit akibat tawuran. Bahkan, ada yang harus dikebumikan. Keluarga kehilangan dan diliputi duka lara. Masyarakat juga menjadi terpecah belah, terkotak-kotak antara pro dan kontra. Selain itu, juga dapat menimbulkan sentimen dalam masyarakat yang berkepanjangan.

Kasus seks bebas, misalnya. Secara pribadi, seks bebas memberikan ruang penyaluran hasrat dan keinginan. Namun, seks bebas juga sekaligus merupakan tindakan melanggar terhadap hak orang lain. Orang tua resah dan gelisah. Seks tanpa ikatan perkawinan menghancurkan cita-cita ketenteraman yang diidamkan oleh masyarakat.

Norma di Sekolah

Seperti halnya di masyarakat, norma di sekolah pun demikian. Norma disepakati oleh berbagai pihak, dari manajemen sekolah, guru, orang tua, peserta didik, hingga masyarakat. Norma hendaknya disusun dengan melibatkan berbagai pihak secara demokratis. Mereka bersama-sama berdiskusi, semua pendapat ditampung dan didiskusikan secara demokratis pula. Jangan sampai mereka diundang hanya sebagai legitimasi tanpa apresiasi atas aspirasi. Jangan sampai partisipasi diabaikan dalam membuat sebuah kesepakatan norma, termasuk di dalam lembaga pendidikan (sekolah).

Kesepakatan yang dibangun harus mencerminkan kehendak bersama antara manajemen sekolah, guru, orang tua, peserta didik, dan masyarakat. Bukan sebagai sarana untuk memaksakan sebuah kehendak tertentu oleh pihak tertentu.

Dalam menyusun sebuah kesepakatan, apalagi yang ditulis menjadi norma bersama, menghargai pendapat orang lain menjadi sangat penting. Semua pihak harus meletakkan norma yang akan dibuat sebagai tanggung jawab bersama. Karena itu, harus merupakan keinginan bersama dan mencerminkan kepentingan semua pihak. Semua bersepakat membuat norma untuk mencapai tujuan bersama.

Sekolah atau lembaga pendidikan model apa pun, hendaknya menjadi contoh atau model yang tepat, yang bisa dirujuk oleh masyarakat. Jangan sampai sekolah justru menjadi contoh buruk dari sebuah pemaksaan kehendak dalam membuat kesepakatan norma. Ini memang bukan sesuatu yang mudah, tetapi justru itu adalah tantangan dari sebuah komitmen sekolah untuk melayani. Bukan hanya melayani dalam bentuk pengajaran, tetapi juga melayani dalam upaya pembelajaran kepada diri sendiri dan masyarakat luas.

Rangkuman

  1. Kesepakatan atau disebut juga pemufakatan diartikan sebagai sikap yang menyepakati akan satu atau beberapa hal oleh satu pihak dengan pihak lain, di mana kesepakatan tersebut dilakukan dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
  2. Norma adalah sebuah kesepakatan yang dibangun oleh masyarakat. Norma dibuat sebagai aturan bersama, sebagai cara hidup bersama, dan sekaligus menjadi pemandu untuk mencapai tujuan bersama.
  3. Norma harus ditaati. Apabila ada yang melanggar norma, harus siap menerima konsekuensinya. Konsekuensi bukan hanya terhadap pelaku pelanggaran, tetapi juga dampak yang ditimbulkan terhadap masyarakat.
  4. Dalam menyusun sebuah kesepakatan, apalagi yang ditulis menjadi norma bersama, menghargai pendapat orang lain menjadi sangat penting. Semua pihak harus meletakkan norma yang akan dibuat sebagai tanggung jawab bersama.
  5. Sekolah atau lembaga pendidikan model apa pun, hendaknya menjadi contoh atau model yang tepat, yang bisa dirujuk oleh masyarakat. Jangan sampai sekolah justru menjadi contoh buruk dari sebuah pemaksaan kehendak dalam membuat kesepakatan norma.





Sunday, September 3, 2023

Dinamika Pelanggaran Hukum

Kalian pasti sering mendengar, membaca bahkan melihat tindakan-tindakan pelanggaran hukum seperti pencurian, penculikan, pemukulan dan lain sebagainya. Tindakan-tidakan seperti itulah yang disebut dengan pelanggaran hukum. Jadi pelanggaran hukum adalah berupa perbuatan yang tidak sesuai atau melanggar larangan- larangan yang ditentukan oleh aturan hukum. Pelanggaran dan kejahatan dua kata yang berhubungan dengan hukum. Kejahatan adalah perbuatan melanggar hukum yang dikategorikan berat dan sedang. Sedangkan pelanggaran adalah perbuatan melanggar hukum yang dikategorikan ringan. Sanksi tindakan kejahatan adalah hukuman dan denda , sedangkan sanksi tindak pelanggaran umumnya berupa denda. Misalnya, pelanggaran lalu lintas biasanya didenda dengan sejumlah nominal sesuai UU.

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menjelaskan bahwa kejahatan adalah semua perbuatan manusia yang memenuhi perumusan ketentuan-ketentuan yang disebut KUHP. Misalnya Pelanggaran Keamanan Umum Bagi Orang atau Barang dan Kesehatan Pasal 489-502, Pelanggaran Ketertiban Umum (Pasal 503-520), Pelanggaran terhadap Penguasa Umum (Pasal 521-528), Pelanggaran Mengenai Asal Usul dan Perkawinan (Pasal 529-530), Pelanggaran Terhadap Orang yang Memerlukan Pertolongan (Pasal 531), Pelanggaran Kesusilaan (Pasal 532-547), Pelanggaran Mengenai Tanah, Tanaman, dan Pekarangan (Pasal 548-551), Pelenggaran Pelayaran (Pasal 560-569) dan sebagainya.

Berikut ini akan dijabarkan contoh Pelanggaran Keamanan Umum bagi Orang atau Barang dan Kesehatan (Pasal 489-502) beberapa jenis-jenis tindakan yang termasuk dalam pelanggaran jenis ini adalah sebagai berikut.

  1. Kenakalan terhadap orang atau barang yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian atau kesusahan.
  2. Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat satu tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang sama.
  3. Menghasut hewan terhadap orang atau terhadap hewan yang sedang ditunggangi, atau dipasang di muka kereta atau kendaraan, atau sedang memikul muatan.
  4. Tidak mencegah hewan yang ada di bawah penjagaannya, bilamana hewan itu menyerang orang atau hewan yang lagi ditunggangi atau dipasang di muka kereta atau kendaraan, atau sedang memikul muatan.
  5. Tidak menjaga secukupnya binatang buas yang ada di bawah penjagaannya, supaya tidak menimbulkan kerugian.
  6. Memelihara binatang buas yang berbahaya tanpa melaporkan kepada polisi atau pejabat lain yang ditunjuk untuk itu, atau tidak menaati peraturan yang diberikan oleh pejabat tersebut tentang hal itu.
  7. Diwajibkan menjaga orang gila yang berbahaya bagi dirinya sendiri maupun orang lain, membiarkan orang itu berkeliaran tanpa dijaga;
  8. Diwajibkan menjaga seorang anak, meninggalkan anak itu tanpa dijaga sehingga oleh karenanya dapat timbul bahaya bagi anak itu atau orang lain.
  9. Mabuk di muka umum merintangi lalu lintas, atau mengganggu ketertiban, atau mengancam keamanan orang lain, atau melakukan sesuatu yang harus dilakukan dengan hati-hati atau dengan mengadakan tindakan penjagaan tertentu lebih dahulu agar jangan membahayakan nyawa atau kesehatan orang lain.
  10. Melawan hukum di jalan umum membahayakan kebebasan bergerak orang lain, atau terus mendesakkan dirinya bersama dengan seorang atau lebih kepada orang lain yang tidak menghendaki itu dan sudah tegas dinyatakan, atau mengikuti orang lain secara mengganggu.
  11. Mengadakan penerangan secukupnya dan tanda-tanda menurut kebiasaan pada penggalian atau menumpukkan tanah di jalan umum, yang dilakukan oleh atau atas perintahnya, atau pada benda yang ditaruh di situ oleh atau atas perintahnya.
  12. Mengadakan tindakan seperlunya pada waktu melakukan suatu pekerjaan di atas atau dipinggir jalan umum untuk memberi tanda bagi yang lalu di situ, bahwa ada kemungkinan bahaya.
  13. Menaruh atau menggantungkan sesuatu di atas suatu bangunan, melempar atau menuangkan ke luar dari situ sedemikian rupa hingga oleh karena itu dapat timbul kerugian pada orang yang sedang menggunakan jalan umum.
  14. Membiarkan di jalan umum, hewan untuk dinaiki, untuk menarik atau hewan muatan tanpa mengadakan tindakan penjagaan agar tidak menimbulkan kerugian;
  15. Membiarkan ternak berkeliaran di jalan umum tanpa mengadakan tindakan penjagaaan, agar tidak menimbulkan kerugian.
  16. Tanpa izin penguasa yang berwenang, menghalangi sesuatau jalanan untuk umum di darat maupun di air atau menimbulkan rintangan karena pemakaian kendaraan atau kapal yang tidak semestinya.
  17. Tanpa izin kepala polisi atau pejabat yang ditunjuk untuk itu, di tempat yang dilalui orang memasang ranjau perangkap, jerat, atau perkakas lain untuk menangkap atau membunuh binatang buas, diancam dengan pidana denda paling banyak tiga ratus tujuh puluh lima rupiah.
  18. Melakukan pelanggaran belum lewat satu tahun sesudah adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang sama, pidana denda dapat diganti dengan pidana kurungan paling lama enam hari.
  19. Tanpa izin kepala polisi atau pejabat yang ditunjuk untuk itu, membakar barang tak bergerak kepunyaan sendiri, diancam dengan pidana denda paling tinggi tujuh ratus lima puluh rupiah.
  20. Di jalan umum atau di pinggirnya, ataupun di tempat yang sedemikian dekatnya dengan bangunan atau barang, hingga dapat timbul bahaya kebakaran, menyalakan api tanpa perlu menembakkan senjata api.
  21. Melepaskan balon angin di mana digantungkan bahan-bahan menyala.
  22. Tanpa izin kepala polisi atau pejabat yang ditunjuk untuk itu, membikin obat ledak, mata peluru atau peluru untuk senjata api, diancam dengan pidana kurungan paling lama sepuluh hari atau pidana denda paling banyak tujuh ratus lima puluh rupiah.
  23. Menjual, menawarkan, menyerahkan, membagikan atau mempunyai persediaan untuk dijual atau dibagikan, barang makanan atau minuman yang dipalsu atau yang busuk, ataupun air susu dari ternak yang sakit atau yang dapat mengganggu kesehatan;
  24. Tanpa izin kepala polisi atau pejabat yang ditunjuk untuk itu, menjual, menawarkan, menyerahkan, membagikan daging ternak yang dipotong karena sakit atau mati dengan sendirinya.
  25. Melakukan pelanggaran belum lewat dua tahun setelah ada pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang sama, pidana denda dapat diganti dengan pidana kurungan paling lama enam hari.
  26. Tanpa izin penguasa yang berwenang untuk itu, memburu atau membawa senjata api ke dalam hutan negara di mana dilarang untuk itu tanpa izin, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu bulan atau pidana denda paling banyak tiga ribu rupiah;
  27. Binatang yang ditangkap atau ditembak serta perkakas dan senjata yang digunakan dalam pelanggaran, dapat dirampas.


Sanksi-sanksi tersendiri diatur dalam pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu:

1. Hukuman pokok, yang terbagi menjadi:

1) hukuman mati

2) hukuman penjara

3) hukuman kurungan

4) hukuman denda

2. Hukuman-hukuman tambahan, yang terbagi menjadi:

1) pencabutan beberapa hak yang tertentu

2) perampasan barang yang tertentu

3) pengumuman keputusan hakim


Hierarki dan Hubungan Antarregulasi

Hierarki dan Hubungan Antarregulasi



Pengertian Regulasi

Secara umum, regulasi adalah suatu peraturan yang telah dibuat untuk nmembantu dalam mengendalikan kelomok, lembaga, dan juga organisasi masyarakat untuk mencapai suatu tujuan tertentu dalam kehidupan bersama, bermasyarakat, serta bersosialisasi.

Adapun tujuan dari regulasi ini adalah agar dapat mengendalikan manusia maupun masyarakat dengan batasan – batasan tertentu. Regulasi ini digunakan dalam berbagai bidang dan sangat luas, baik itu masyarakat, lembaga umum maupun bisnis. Akan tetapi secara umumnya regulasi ini adalah menggambarkan suatu peraturan yang berlaku dalam kehidupan masyarakat.

Pengertian Hierarki

Hierarki bisa dikatakan sebagai urutan jabatan atau pangkat kedudukan. Sehingga, hierarki merupakan tingkan wewenang dari terbawah sampai tertinggi.

Berdasarkan hierarki hukum, UUD 1945 sebagai konstitusi negara Indonesia menempati posisi tertinggi.

UUD 1945 dibentuk oleh para pendiri bangsa sebagai konstitusi tertinggi di Indonesia. Keputusan tersebut terbentuk berdasarkan kesepakatan yang telah didiskusikan oleh pendiri bangsa. Hal ini membuat hierarki hukum tidak bisa saling bertentangan dan harus terjadi hubungan di dalamnya.

Hierarki adalah suatu pangkat atau urutan kedudukan. Hierarki bisa juga diartikan sebagai organisasi dengan tingkat wewenangan dari terbawah sampai teratas.

"Dalam hierarki hukum, konstitusi merupakan hukum tertinggi dan fundamental."

Dalam hierarki hukum, konstitusi merupakan hukum yang paling tinggi dan fundamental sifatnya sehingga peraturan-peraturan di bawahnya tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Hal ini sesuai UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.


Berikut adalah beberapa jenis regulasi yang ada di Indonesia, sesuai dengan hierarki perundang-undangan:


Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)

Merupakan konstitusi tertinggi yang menjadi dasar dari semua peraturan perundang-undangan di Indonesia. Semua regulasi di bawahnya harus sesuai dengan ketentuan dalam UUD 1945.

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR)

TAP MPR adalah keputusan atau ketetapan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang mempunyai kedudukan di bawah UUD 1945. TAP MPR dapat bersifat tetap atau sementara, sesuai dengan kebutuhan konstitusi.

Undang-Undang (UU) / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)

UU disusun oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama presiden. Sementara itu, Perppu dikeluarkan oleh presiden dalam keadaan mendesak dan bisa segera berlaku, namun harus disahkan oleh DPR dalam jangka waktu tertentu.

Peraturan Pemerintah (PP)

PP adalah aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat untuk menjalankan UU. PP menjelaskan atau menguraikan ketentuan yang ada dalam undang-undang agar lebih mudah dilaksanakan.

Peraturan Presiden (Perpres)

Perpres merupakan aturan yang dikeluarkan oleh presiden untuk menjalankan fungsi eksekutifnya. Perpres berisi kebijakan pemerintah yang lebih teknis dibandingkan PP dan digunakan untuk mengatur hal-hal tertentu.

Peraturan Daerah (Perda)

Perda merupakan peraturan yang disusun oleh pemerintah daerah bersama DPRD, baik di tingkat provinsi, kabupaten, maupun kota. Perda mengatur kepentingan lokal dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.

Peraturan Menteri (Permen)

Peraturan yang dibuat oleh menteri di sebuah kementerian tertentu. Permen berfungsi sebagai pedoman teknis bagi pelaksanaan kebijakan di sektor atau bidang tertentu yang menjadi tanggung jawab kementerian.

Keputusan Presiden (Keppres)

Keppres adalah keputusan yang dikeluarkan oleh presiden mengenai persoalan khusus, biasanya bersifat administratif atau menunjuk seseorang untuk mengisi jabatan tertentu di pemerintahan.

Instruksi Presiden (Inpres)

Instruksi yang dikeluarkan oleh presiden untuk mengarahkan para pejabat di bawahnya agar melaksanakan kebijakan tertentu. Inpres biasanya lebih bersifat internal di lingkungan pemerintahan.

Peraturan Gubernur (Pergub) / Peraturan Bupati (Perbup) / Peraturan Walikota (Perwali)

Ini adalah aturan yang dikeluarkan oleh kepala daerah, seperti gubernur, bupati, atau walikota, untuk menjalankan kebijakan di wilayahnya, yang merupakan penjabaran dari Perda atau kebijakan pemerintah pusat.


Jenis-jenis regulasi ini memastikan adanya ketertiban dalam proses pembuatan aturan dan kebijakan, serta memberi panduan jelas bagi pelaksanaan pemerintahan di semua tingkat.

UU Nomor 12 Tahun 2011

BAGIAN III

JENIS, HIERARKI, DAN MATERI MUATAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Pasal 7

(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

(a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

(b) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

(c) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

(d) Peraturan Pemerintah;

(e) Peraturan Presiden;

(f ) Peraturan Daerah Provinsi; dan

(g) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.


(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki seba- gaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 8

(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pa- sal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawara- tan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang diben- tuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rak- yat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui ke- beradaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintah- kan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berda- sarkan kewenangan.


Pasal 9

(1) Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.

(2) Dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang di- duga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mah- kamah Agung.


Dari uraian di atas, tampak jelas bahwa aturan perundang-undangan memiliki hierarki, dari UUD 1945 hingga peraturan daerah kabupaten/kota. Peraturan- peraturan itu dalam istilah formal disebut regulasi, yaitu seperangkat peraturan untuk mengendalikan suatu tatanan yang dibuat supaya bebas dari pelanggaran dan dipatuhi semua anggotanya. Regulasi berasal dari berbagai sumber, tetapi bentuk yang paling umum adalah regulasi pemerintah. Peraturan pemerintah adalah perpanjangan dari undang-undang.


Contoh Kasus Hierarki dan Hubungan Antarregulasi


Regulasi UU tidak hanya menunjukkan adanya hierarki, tetapi juga ada relasi atau hubungan yang tidak boleh saling bertentangan atau tidak boleh terjadi tumpang tindih antarperaturan. Jika ini terjadi, akan terjadi kekacauan aturan, yang menyebabkan kebingungan bagi warga negara.

Jadi, antarperaturan atau UU itu selain menunjukkan hierarki, sebagaimana tertuang dalam pasal 7 UU Nomor 12 Tahun 2011, juga harus “harmonis” dan memiliki korelasi yang positif. Sekadar contoh, untuk melihat bagaimana pola hierarki dan relasi antarperaturan yang serasi, dapat diamati pada kasus otonomi daerah.

Mungkin kalian tidak sadar atau heran, mengapa sekarang banyak bermunculan tempat-tempat wisata baru di berbagai daerah. Mengapa juga setiap daerah terlihat memiliki ciri atau kekhasan masing-masing? Ini semua terjadi setelah pemerintah menerapkan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pemerintahan Daerah.
Pemerintah daerah, sejak saat itu hingga kini, diberi kewenangan untuk mengatur dan mengembangkan potensi daerah masing-masing, tetapi harus tetap memperhatikan agar tidak melampaui kewenangan bidang lain. Berikut ini kewenangan pemerintah daerah, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

BAB IV KEWENANGAN DAERAH

Pasal 7

(1) Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintah- an, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.
(2) Kewenangan bidang lain, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi kebijak- an tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional seca- ra makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pen- dayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standarisasi nasional.

Pasal 8
(1) Kewenangan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah dalam rangka de- sentralisasi harus disertai dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia sesuai dengan kewenangan yang dise- rahkan tersebut.
(2) Kewenangan Pemerintah yang dilimpahkan kepada Gubernur dalam rangka de- konsentrasi harus disertai dengan pembiayaan sesuai dengan kewenangan yang dilimpahkan tersebut.

Pasal 9
(1) Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom mencakup kewenangan dalam bi- dang pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, serta kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya.

(2) Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom termasuk juga kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.

(3) Kewenangan Provinsi sebagai Wilayah Administrasi mencakup kewenangan da- lam bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur selaku wakil Pe- merintah.

Pasal 10
(1) Daerah berwenang mengelola sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan pera- turan perundang-undangan.
(2) Kewenangan Daerah di wilayah laut, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, me- liputi:
(a) eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wi- layah laut tersebut;
(b) pengaturan kepentingan administratif
(c) pengaturan tata ruang;
(d) penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh Daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah; dan
(3) bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara.
(4) Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota di wilayah laut, sebagaimana dimaksud pada ayat (2), adalah sejauh sepertiga dari batas laut Daerah Provinsi.
(5) Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 11
(1) Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota mencakup semua kewenangan pemerintahan selain kewenangan yang dikecualikan dalam Pasal dan yang diatur dalam Pasal 9.
(2) Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Dae- rah Kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, per- tanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja.

Pasal 12

Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 9 ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 13
(1) Pemerintah dapat menugaskan kepada Daerah tugas-tugas tertentu dalam rangka
tugas pembantuan disertai pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungja- wabkannya kepada pemerintah.
(2) Setiap penugasan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan pera- turan perundang-undangan.

Contoh adanya hierarki dan hubungan antar regulasi

Mengapa sekarang banyak bermunculan tempat-tempat wisata baru di berbagai daerah. Mengapa juga setiap daerah terlihat memiliki ciri atau kekhasan masing-masing?

Ini semua terjadi setelah pemerintah menerapkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pemerintahan Daerah.

Pemerintah daerah, sejak saat itu hingga kini, diberi kewenangan untuk mengatur dan mengembangkan potensi daerah masing-masing, tetapi harus tetap memperhatikan agar tidak melampaui kewenangan bidang lain.

Berikut ini kewenangan pemerintah daerah, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

  1. Politik luar negeri
  2. Pertahanan keamanan
  3. Peradilan
  4. Moneter dan fiskal
  5. Agama

Kewenangan bidang lain, yaitu meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia (SDM), pendayagunaan sumber daya alam (SDA) serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standardisasi nasional.

Mengapa Perlu Adanya Hierarki dan Hubungan Antar Regulasi?

Regulasi UU tidak hanya menunjukkan adanya hierarki, tetapi juga ada relasi atau hubungan yang tidak boleh saling bertentangan atau tidak boleh terjadi tumpang tindih antarperaturan.

Jika ini terjadi, akan terjadi kekacauan aturan, yang menyebabkan kebingungan bagi warga negara.


Featured Post

12 Langkah Proses Membuat Kain Batik Tulis!

12 Langkah Proses Membuat Kain Batik Tulis! Oleh : Ucke Rakhmat Gadzali, S.Pd. Kain batik tulis merupakan warisan budaya tradisional Indones...