Pada dasarnya, tindak pidana perzinaan (overspel) telah diatur dalam Pasal 284 KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku dan Pasal 411 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[1] yaitu tahun 2026.
Berikut adalah bunyi Pasal 284 KUHP:
Diancam dengan pidana penjara paling lama 9 bulan:
a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya;
b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya;
a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin;
b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.
Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga.
Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75.
Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.
Jika bagi suami-istri berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.
Menurut R. Soesilo, gendak/overspel sebagai perbuatan zina, adalah persetubuhan yang dilakukan laki-laki/perempuan yang telah kawin dengan perempuan/laki-laki yang bukan istri/suaminya. Untuk dapat dikenakan pasal tersebut, persetubuhan harus dilakukan atas dasar suka sama suka, tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak.[2]
Selain itu, delik tersebut merupakan delik aduan absolut, sehingga tidak dapat dituntut jika tidak ada pengaduan dari suami/istri yang dirugikan. R. Soesilo juga menambahkan bahwa pengaduan ini tidak boleh dibelah. Misalnya, apabila laki-laki (A) mengadukan bahwa istrinya (B) telah berzina dengan laki-laki lain (C), maka (B) sebagai yang melakukan perzinaan dan C sebagai yang turut melakukan perzinaan, kedua-duanya harus dituntut.[3]
Kemudian, sebagai informasi, Pasal 27 KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek/ “BW”) yang disebut dalam Pasal 284 KUHP berbunyi sebagai berikut:
Pada waktu yang sama, seorang lelaki hanya boleh terikat perkawinan dengan satu orang perempuan saja; dan seorang perempuan hanya dengan satu orang lelaki saja.
Isi Pasal 411 UU 1/2023
Selanjutnya, tindak pidana perzinaan dalam Pasal 411 UU 1/2023 berbunyi sebagai berikut:
Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidana karena perzinaan, dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak kategori II, yaitu Rp10 juta.[4]
Terhadap Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan:
suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan.
Orang Tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.
Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 30.
Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.
Serupa dengan Pasal 284 KUHP, berdasarkan Pasal 411 UU 1/2023, tindak pidana perzinaan baru dapat dituntut apabila ada pengaduan. Namun, pengaduan dalam KUHP baru berasal dari suami/istri bagi yang terikat perkawinan atau orang tua/anak bagi yang tidak terikat perkawinan.
Lalu, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 284 KUHP maupun Pasal 411 UU 1/2023, pengaduan ini dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.[5]
Penjelasan Pasal 411 ayat (1) UU 1/2023
Kemudian, berdasarkan Penjelasan Pasal 411 ayat (1) UU 1/2023, yang dimaksud dengan “bukan suami atau istrinya” sebagaimana disebutkan di atas adalah:
laki-laki yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan yang bukan istrinya;
perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki yang bukan suaminya;
laki-laki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut berada dalam ikatan perkawinan;
perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki, padahal diketahui bahwa laki-laki tersebut berada dalam ikatan perkawinan; atau
laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan melakukan persetubuhan.
Adapun yang dimaksud dengan “anaknya” dalam pasal ini adalah anak kandung yang sudah berumur 16 tahun.[6]