GURU DAN DILEMA ETIS
Guru adalah designer dan pengelola pembelajaran sekaligus sebagai pemimpin pendidikan (educational leader) di sekolah (Schlechty, 2009). Dalam kapasitas tersebut, guru tidak hanya dituntut profesional dalam menggunakan pendekatan, strategi, model, metode dan tehnik pembelajaran yang memungkinkan terjadinya proses pembelajaran yang efektif menyenangkan dan tercapainya kompetensi yang ditentukan. Guru juga dituntut terampil dalam mencari solusi dan mengambil keputusan dalam menghadapi kasus-kasus non-teknis pembelajaran yang bersifat dilema etis, misalnya kasus bullying, pelecehan seksual, siswi hamil, pernikahan dini, dan kasus-kasus serupa yang termasuk dalam kategori pelanggaran etika.
Apa yang dimaksud dengan dilema etis ? Menurut Duignan (2006) dilema etis adalah sebuah situasi sulit dan menantang yang memerlukan satu pilihan keputusan diantara beberapa kemungkinan yang sama-sama tidak dikehendaki.
Situasi dilema etis di sekolah bersumber dari empat hal pokok yaitu peserta didik, personel sekolah, keuangan dan sumber daya, serta hubungan dengan pihak eksternal sekolah (Cranston, 2006). Selain itu, situasi dilema etis di sekolah juga bisa disebabkan oleh adanya kompleksitas, ketidakpastian, dan keragaman. Keragaman (diversity) meliputi kategori kultural, ras, agama, kelas sosial, gender, kecacatan (disability), orientasi seksual, dan perbedaan – perbedaan individual dalam gaya belajar, perkecualian (exceptionality), serta usia (Shapiro dan Stefkovich, 2011).
Satu contoh kasus dilema etis di sekolah adalah kasus siswi hamil. Kasus ini sering terjadi di beberapa sekolah Indonesia dan sering menjadi polemik berkepanjangan. Seorang siswi yang satu minggu lagi akan mengikuti ujian sekolah (US) dan ujian nasional (UN) ternyata hamil. Sekolah sering salah tingkah dalam neghadapi kasus semacam ini. Jika siswi tersebut dipertahankan maka akan menjadi preseden buruk bagi siswi lainnya. Siswa lainnya akan memiliki alasan untuk bersikap permisif (tidak apa-apa) terhadap kasus serupa jika terjadi lagi di kemudian hari. Namun jika tidak diperbolehkan ikut US dan UN maka bisa menghambat proses masa depan sang siswi.
Contoh kasus dilema etis yang paparkan di atas merupakan gambaran situasi atau kejadian yang menimpa siswa atau komunitas sekolah yang menimbulkan situasi sulit dan menantang yang membutuhkan satu pilihan keputusan dari berbagai alternatif atau kemungkinan solusi yang semuanya tidak dikehendaki.
Sebagai decision maker, guru harus mampu mengambil keputusan yang tepat dengan mengakomodir semua pihak dan semua kepentingan dengan paradigma dan tahapan-tahapan sistematis yang bisa dipertanggung jawabkan.
Dalam menghadapi kasus dilema etis, guru tidak hanya memilih alternatif dan merespon masalah yang muncul tetapi juga harus menyertakan analisis etika (ethical analysis) dalam proses pengambilan keputusan, yaitu dengan mempertimbangkan aspek nilai-nilai, pilihan, dilema, karakter dan wilayah abu-abu (Duignan, 2006). Inilah yang oleh Duignan (2006) disebut sebagai pengambilan keputusan etis (ethical decision making).
Pengambilan keputusan etis adalah proses mengidentifikasi sebuah masalah, mencari alternatif, dan memilih alternatif-alternatif tersebut sehingga alternatif yang diambil akan memaksimalkan nilai-nilai etis terpenting sekaligus mencapai tujuan yang diharapkan (Guy,1990:39).
Untuk menjaga konsistensi dan koherensi dalam pengambilan keputusan, guru harus memahami metode dan langkah-langkah pengambilan keputusan ketika berhadapan dengan masalah dilema etis. Duignan (2006) merekomendasikan sepuluh langkah dalam membuat keputusan etis, yaitu :
- Menentukan sifat situasi. Guru perlu memahami dan menentukan karakter situasi dilema etis yang dihadapi, apakah situasi dilema tersebut antara benar-dan-benar (right-and-rigth), salah-dan-salah (wrong-and-wrong), atau antara benar dan salah (right-and-wrong).
- Memperjelas fakta-fakta. Pengambilan keputusan yang baik sangat tergantung pada pengumpulan data dan pemahaman fakta-fakta yang komprehensif. Guru harus melakukan penyelidikan secara cermat tentang masalah sebenarnya.
- Mengidentifikasi pihak-pihak yang terlibat. Guru perlu memahami dan melibatkan pihak-pihak yang terkait, alasan mereka terlibat, dan motivasi mereka.
- Memikirkan beberapa opsi tindakan. Guru perlu mempertimbangkan berbagai cara, alternatif tindakan serta konsekuensinya masing-masing.
- Mengevaluasi opsi-opsi dengan menggunakan pendekatan etika yang berbeda. Guru bisa mengevaluasi beberapa alternatif pemecahan masalah dengan menggunakan empat paradigma etika yang dikemukakan Shapiro dan Stefkovich (2011), yaitu etika keadilan (ethics of juctice), etika kritik (ethics of critique), etika kepedulian (ethics of care), dan etika profesi (ethics of profession).
- Etika keadilan (ethics of juctice) adalah sebuah paradigma etika yang memandu pengambilan keputusan berdasarkan aturan hukum dan konsep-konsep keadilan, kesamaan, dan ekuitas. Semua orang diperlakukan sama sesuai standar keadilan yang disepakati bersama. Dari perspektif paradigma keadilan, proses pengambilan keputusan yang dilakukan guru ketika dihadapkan pada kasus dilema etis di sekolah harus dipandu oleh aturan, tata tertib, hukum, kebijakan dan prosedur yang berlaku di sekolah dan diterapkan secara obyektif, rasional, logis, sistematis, transparan, tanpa pandang bulu dan berlaku sama untuk semua warga sekolah.
- Etika kritik (ethics of critique) memandang bahwa hukum, aturan, tata tertib dan bentuk regulasi lainnya bisa menjadi penghambat terciptanya keadilan karena sifatnya yang kaku dan menafikan situasi unik individu. Dari perspektif ini, guru dituntut kritis terhadap segala bentuk ketidakadilan yang terjadi di sekolah agar para siswa tetap diperlakukan secara adil sesuai dengan situasi unik yang dihadapi.
- Etika kepedulian (ethics of care) mengedepankan rasa belas kasih, empati, menghargai martabat siswa, apresiasi, keteduhan, komunikasi, menjaga rahasia siswa, kekeluargaan, melindungi, mendengarkan, memahami secara mendalam situasi individual yang dihadapi siswa, dan lebih mementingkan dampak jangka panjang yang mungkin dialami siswa.
- Etika profesi (ethics of profession) memposisikan siswa sebagai pusat dari proses pengambilan keputusan dan fokus pada keputusan yang terbaik untuk siswa, “the best interest of the students”. Salah satu dokumen yang bisa dijadikan sebagai acuan dalam pengambilan keputusan yang komprehensif adalah standar etika atau kode etik guru yang disusun oleh organisasi profesi guru. Guru di Indonesia yang menerapkan paradigma etika profesi bisa mengacu kepada Kode Etik Guru Indonesia (KEGI).
- Memilih opsi yang terbaik. Opsi atau pilihan yang terbaik diperoleh dari proses berfikir yang cermat dan prinsip-prinsip etika yang kokoh.
- Menjelaskan pilihan yang diambil. Guru harus siap menjelaskan pilihan keputusan yang diambil, mengapa pilihan tersebut menjadi pilihan yang lebih baik dibanding dengan pilihan-pilihan lainnya. Sebuah pilihan keputusan harus bisa dipertanggungjawabkan kepada publik.
- Menentukan cara mengimplementasikan opsi tersebut. Guru harus menyusun rencana implementasi secara rinci. Banyak keputusan yang mengalami kegagalan dalam proses implementasi dikarenakan perencanaan yang buruk.
- Melakukan tindakan dengan cermat. Guru harus terbuka terhadap umpan balik dan perspektif berbeda. Guru juga harus siap memodifikasi keputusan jika ditemukan fakta-fakta baru.
- Melakukan refleksi dan pembelajaran. Guru harus melakukan refleksi kritis terhadap seluruh proses pengambilan keputusan dan dampak dari keputusan tersebut.
Selain sepuluh langkah yang dikemukakan Duignan tersebut, dalam pengambilan keputusan, guru perlu meminta pertimbangan atau konsultasi dengan sumber-sumber otoritatif lainnya.
Yang dimaksud dengan konsultasi adalah melakukan musyawarah dengan ahli atau profesional lainnya untuk memperdalam dan memperluas pemahaman guru tentang masalah yang sedang dihadapi sehingga keputusan yang diambil menjadi keputusan yang bijak.
Beberapa sumber konsultatif lain yang bisa dijadikan sebagai sumber pertimbangan guru dalam pengambilan keputusan di sekolah adalah pihak dinas pendidikan, pengawas sekolah, kepala sekolah, teman sejawat dalam Kelompok Kerja Guru (KKG) atau Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) , komite sekolah, orang tua siswa, siswa, dan ahli atau professional lain yang kompeten.
No comments:
Post a Comment