Tuesday, August 13, 2024

Proses Kerja Penata Artistik

Proses Kerja Penata Artistik


Penata Artistik merupakan salah satu unit kerja pada stasiun penyiaran televisi atau Tim produksi film yang berfungsi sebagai penunjang acara siaran televisi atau produksi film. Penataan artistik merupakan suatu hal yang penting dalam menciptakan suasana dalam sebuah produksi acara drama televisi, film, maupun program non drama. Penataan artistik ini juga dapat mendukung suasana dan karakter pemain dalam layar dan termasuk juga sebagai daya tarik sebuah acara.

Penata artistik merupakan bagian tim dalam proses produksi siaran televisi yang di dalamnya terdapat beberapa divisi diantaranya set studio, design, wardrobe, make up dan property. Setiap divisi memiliki tanggung jawab yang berbeda-beda, namun mereka bersatu untuk mendukung kelancaran proses praduksi program siaran.

Menurut Supriyadi,dkk (2014:7) penata artistik adalah seorang yang bertanggung jawab terhadap aspek pengadaan, penata, penyusun visual sebagai latar dan penunjang cerita drama dan film.

Berdasarkan kutipan di atas, penulis menyimpulkan bahwa sangatlah penting bagi penata artistik untuk menciptakan pandangan yang luas, terus berpikir untuk sesuatu yang baru dan secara konstan berusaha menciptakan kreatifitas yang lebih tinggi.

Menurut Kusumawati,dkk (2017:16) penata artistik bertanggung jawab mengoptimalkan dan mengarahkan efisiensi seluruh difisi yang ada di dalam departemen artistik sesuai jadwal produksi yang telah ditentukan, jangan sampai melebihi dari anggaran biaya yang telah disusun.

Dari kutipan diatas, penulis menyimpulkan tugas seorang penata artistik adalah bertanggung jawab dalam merancang keperluan properti, menentukan warna panggung, perancangan wardrobe untuk kebutuhan produksi agar sesuai dengan konsep yang sudah disepakati.

Menurut Kusumawati,dkk (2017:16) bertanggung jawab menyesuaikan kebutuhan art dengan keinginan director dengan perubahan perubahan yang dilakukan pada saat produksi.

Dari kutipan diatas, penulis menyimpulkan bahwa seorang penata artistik harus bisa menerjemahkan skenario dan konsep cerita kedalam bentuk artistik yang nyata (kasat mata) serta sesuai dengan yang diinginkan Sutradara ke dalam rencana visual (Visual Plan).

Penulis sebagai penata artistik dalam program acara non-drama DAILY SPOT memiliki tanggung jawab atas keseluruhan gambarnya, penulis juga harus bisa kerja berdampingan dengan sutradara untuk memperhatikan segala sesuatu yang terekam di kamera.


Pra Produksi

Pada tahap awal dalam pembuatan sebuah produksi non drama televisi adalah proses pra produksi. Masa pra produksi adalah masa perencanaan, persiapan, penorganisasian, produksi, hingga ke teknis. Keberhasilan suatu produksi nondrama Televisi tergantung pada proses pra produksi yang matang.

Pada tahap pra produksi ini penulis sebagai penata artistik menentukan tema bersama dengan tim membuat breakdown dan jadwal kerja khusus bidang tata artistik agar dalam tahap produksi berjalan dengan lancar. Selain itu, seorang penata artistik juga menyiapkan semua property tata artistik sesuai dengan rancangan lembar kerja yang sudah dibuat.

 Menurut Supriyadi, dkk (2014:82) penata artistik bertanggung jawab atas aspek desain kreatif acara (set design, lokasi, dan atau grafis). Ia membawahi beberapa bagian artistik.

Dalam kutipan diatas menyimpulkan, penulis menyimpulkan bahwa sebelum produksi seorang penata artistik dapat membuat rancangan untuk desain yang sesuai dengan konsep yang diinginkan oleh sutradara agar menghasilkan hasil yang baik.

Pada tahap ini penulis bertugas untuk menyamakan konsep artistik seperti yang akan digunakan set dekorasi yang disesuaikan naskah, wardrobe, make-up, property yang akan digunakan. Penulis juga melakukan Survey lokasi adalah untuk mengetahui atau mencari informasi yang diperlukan tentang tempat, suasana, dan keadaan.

Pada tahap awal dalam pembuatan sebuah produksi non drama televisi adalah proses pra produksi. Masa pra produksi adalah masa perencanaan, persiapan, penorganisasian, produksi, hingga ke teknis. Keberhasilan suatu produksi nondrama Televisi tergantung pada proses pra produksi yang matang.

Untuk semua adegan yang termasuk dalam sebuah produksi non drama. Jadi setiap adegan, setiap percakapan yang mengaitkan pada sebuah keadaan, maka art director harus mulai membuat list set apa saja yang diperlukan. Seperti set dekorasi, properti yang akan dipakai saat produksi, make up artis, wardrobe yang akan dipakai oleh pembawa acaranya, dan lain sebagainya yang dibutuhkan saat produksi.

 

Produksi

Menurut Kusumawati, dkk (2017:33) menyatakan bahwa pada saat Produksi, maka tiap scene pun art director perlu ada dan berada di dekat sutradara untuk memastikan gambar yang diambil sesuai dengan yang diharapkan, sesuai dengan skenario dan dalam tampakkan gambarnya pun terlihat nyata. Bisa saja ia ikut terlibat langsung, misalnya saja membetulkan letak set atau properti yang dirasa tak pas di adegan yang dimaksud. Kegiatan ini terus diikuti oleh art director, mulai dari bongkar pasang set, sampai ke penataan set sepanjang pengambilan gambar masih berlangsung.

Berdasarkan kutipan diatas, penulis menyimpulkan bahwa tugas seorang penata artistik atau art director pada saat produksi adalah bertanggung jawab atas semua letak set atau property yang digunakan di lokasi shooting pada saat produksi. Penata artistik atau art director juga harus selalu berdampingan dengan sutradara untuk memastikan gambar sesuai atau tidak ada yang jumping pada saat pergantian segment jika masih ditempat yang sama.

Dalam produksi program televisi non drama yang berjudul DAILY SPOT Kami menghabis kan waktu tiga hari Shoting di Jakarta tepatnya ada di beberapa tempat yaitu di Jakarta. Ennichisai 2018 tema Danketsu di Blok M. Kodam Komunitas Ontel Daan Mogot di Daan Mogot Cutie Cats Caffe, di Kemang Studio tanggerang Teluk Naga . Didalam produksi penulis selaku penata artistik mempunyai tanggung jawab yang sangat besar atas keseluruhan unsur tata artistik, sesuai dengan tahapan proses perekaman gambar dan suara dari non-drama televisi ”DAILY SPOT”.


Pasca produksi

Setelah proses produksi yang sudah matang tiba saatnya pasca produksi, dimana pasca adalah salah satu tahap dari proses pembuatan program, tahap ini dilakukan setelah  tahap  produksi  program  selesai  ini  terdapat  beberapa aktivitas seperti pengeditan, pemberian suara atau musik latar. Dalam melaksanakan tugasnya seorang penata artistik, bukan hanya menerima informasi dari produser dan pengarah acara tentang acara yang akan diproduksinya saja, melainkan dia juga harus mengembangkan semua bahan informasi yang diterimanya mampu menjabarkan apa yang terkandung dalam naskah.

Pada tahap ini penulis melakukan evaluasi proses kerja mulai pra hingga pasca produksi untuk memperoleh pembelajaran tentang bagaimana membuat susunan tata artistik yang baik dan rapih. Hal ini perlu diperhatikan agar kesalahan saat produksi tidak terjadi kembali pada saat yang akan datang.

Menurut Kusumawati, dkk (2017:28) “Dalam penggarapan suatu produksi program terdapat beberapa rangkaian proses, yaitu Pra Produksi, Produksi, dan Pasca Produksi. Proses tahapan ini juga merupakan refleksi dari suatu perencanaan yang matang untuk mendapatkan hasil yang maksimal dan kualitas yang baik”.

Dalam kutipan diatas, penulis menyimpulkan pada saat pasca produksi penulis melakukan tahap evaluasi dari semua divisi yang terdapat dalam art dilihat dari kekurangan-kekurangan pada saat pengambilan gambar kemudian juga mengembalikan dan merapikan semua property dan peralatan art yang lain.


Peran dan Tanggung Jawab Penata Artistik

Menurut supriyadi, dkk (2014:82) penata artistik adalah bertanggung jawab atas aspek desain kreatif acara (set design, lokasi, dan atau grafis). Ia membawahi beberapa bagian artistik.

Menurut Kusumawati, dkk (2017:14) menyatakan bahwa:

Penata artistik merupakan suatu hal yang penting dalam menciptakan suasana dalam sebuah produksi acara drama tv, film maupun program non drama.”Secara teknis penata artistik atau art director bertanggung jawab atas seluruh penyediaan kebutuhan artistik mulai dari pra produksi, produksi, sampai pasca produksi. Berikut ini merupakan peran dan tanggung jawab penulis sebagai penata artistik, diantaranya :

Menyesuaikan anggaran yang terkait dengan kebutuhan yang ada di dalam naskah, memastikan semua kebutuhan peralatan dengan kebutuhan artistik selama proses produksi seperti property, mengoptimalkan dan mengarahkan seluruh divisi yang ada di dalam departemen artistik, menyesuaikan kebutuhan art seperti property yang dibutuhkan sesuai dengan keinginan director dan mengikuti perubahan perubahan yang diinginkan director, membuat laporan kerja art director.

Penulis menyimpulkan bahwa peran dan tanggung jawab seorang penata artistik atau art director adalah menentukan dan membuat list apa saja yang digunakan selama shooting berlangsung seperti property, wardrobe, make up, dan lain lain. Membuat laporan pertanggung jawaban atas laporan kerja art director seperti, konsep artistik, breakdown penata artistik, floor plan dan lain lain.

Penata artistik adalah suatu hal yang penting dalam sebuah produksi televisi drama atau non drama, peran dan tanggung jawab nya menyiap kan, Studio, Wadrobe, dan Make up, dan tanggung jawab, membuat studio ber tema ala ala kelasik modern.

Di set secara unik, nyaman, bagus dan beberapa Properti di buat dengan karangan kayu, seperti mainan motor mobil yang terbuat dari kayu guna menyesui kan dengan teman dan konsep ber nilai tinggi, referensinya itu sendiri dari acara program Televisi Tonight show dan The Comment dan beberapa dari ide penulis.

Penulis menyimpulkan bahwa peran dan tanggung jawab seorang penata artistik atau  art  director  adalah  menentukan  dan  membuat  list art,  apa saja yang digunakan selama shooting berlangsung seperti property, studio, wardrobe, make up, dan lain lain. Membuat laporan pertanggung jawaban atas laporan kerja art director, penulis juga berkordinasi dan berdiskusi dengan pengarah acara, Cameramen, penata cahaya mengenai tata letak camera, lighting dan desain studio, seperti, konsep artistik, breakdown penata artistik, floor plan.


Sunday, August 4, 2024

Dinamika Perumusan Pancasila

Dinamika Perumusan Pancasila


Perdebatan mengenai hubungan antara agama dan negara turut mewarnai sidang BPUPK kala itu. Para pejuang dan pendiri bangsa Indonesia berbeda pendapat soal ini. Sebagian menghendaki Islam menjadi dasar negara, sebagian lainnya berpandangan bahwa negara Indonesia tidak perlu menjadikan agama sebagai dasar negara. Soekarno dan Hatta, misalnya, adalah tokoh yang berpandangan bahwa negara Indonesia tidak dapat didasarkan kepada Islam. Sementara itu, Moh. Natsir, Ki Bagus Hadikusumo, dan KH. Wahid Hasyim memandang bahwa Islam harus menjadi dasar negara.

Untuk mengatasi perbedaan pendapat tersebut, sebagai bagian dari demokrasi serta untuk menghindari perpecahan, maka dicarikan titik temu dalam Panitia Sembilan yang dibentuk setelah sidang pertama BPUPK. Setelah melewati diskusi panjang, akhirnya Panitia Sembilan menyepakati preambule yang disampaikan oleh Soekarno, selaku ketua Panitia Sembilan, dalam sidang BPUPK kedua pada 10 Juli 1945. Preambule ini merupakan persetujuan bersama antarkalangan yang semula berbeda pendapat. Ini adalah potret sebuah proses demokrasi yang indah. Perdebatan dan perbedaan pendapat bukanlah sesuatu permusuhan, melainkan bagian dari ihktiar bersama untuk mencari rumusan dasar negara Indonesia yang tepat.


Berikut bunyi preambule yang dibacakan oleh Soekarno:

"Pembukaan: bahwa sesungguhnja kemerdékaan itu jalah hak segala bangsa, dan oléh sebab itu maka pendjadjahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan. Dan perdjuangan pergerakan kemerdékaan Indonésia telah sampai kepada saat jang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakjat Indonésia kedepan pintu gerbang Negara Indonésia jang merdéka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat Rahmat Allah Jang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaja berkehidupan kebangsaan jang bébas, maka rakjat Indonésia menjatakan dengan ini kemerdékaannja. Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia Merdéka jang melindungi segenap bangsa Indonésia dan seluruh tumpah-darah Indonésia, dan untuk memadjukan kesedjahteraan umum, mentjerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia jang berdasarkan kemerdékaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdékaan kebangsaan Indonésia itu dalam suatu hukum dasar Negara Indonésia jang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonésia, jang berkedaulatan rakjat, dengan berdsarkan kepada: ke-Tuhanan, dengan kewadjiban mendjalankan sjari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknja, menurut dasar kemanusiaan jang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakjatan jang dipimpin oleh hikmat kebidjaksanaan dalam permusjawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakjat Indonesia".

Namun, tak cukup sampai di situ. Preambule tersebut, rupanya masih menjadi polemik di kalangan pendiri bangsa. Mohammad Hatta, misalnya, tetap berpandangan bahwa Islam tidak perlu menjadi dasar negara secara formal. Islam tetap menjadi semangat dan dasar moral.

Akhirnya, dalam sidang PPKI pada 18 Agustus 1945, tujuh kata dalam preambule, “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk- pemeluknya” dihapuskan. Alasannya, terdapat keberatan dari satu kelompok anak bangsa terkait dengan tujuh kata dalam Preambule tersebut. Demi menjaga keutuhan bangsa, akhirnya, Moh. Hatta mendiskusikan tentang rencana penghapusan tersebut kepada tokoh Islam, seperti Ki Bagus Hadikusumo dan K.H.A. Wachid Hasyim.

Saat mengetahui keberatan dan potensi perpecahan, Ki Bagus Hadikusumo dan K.H.A. Wachid Hasyim--sebagai representasi dari 2 organisasi Islam terbesar: Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama--pun setuju dengan penghapusan tujuh kata tersebut. Ki Bagus Hadikusumo, misalnya, mengatakan:

Di dalam keterangan Tuan Syusa tadi hanya satu perkara yang kecil sekali yang akan
saya minta dicabut atau dihilangkan. Saya menguatkan voorstel Kiyai Sanusi dalam pembukaan di sini yang mengatakan bahwa perkataan dengan kewajiban umat Allah swt ”bagi pemeluk-pemeluknya" adalah menurut keterangan Kiyai Sanusi tidak ada haknya
dalam kata-kata Arab dan menambah janggalnya kata-kata. Jadi tidak ada artinya dan menambah kejanggalan, menambah perkataan yang kurang baik, menunjukkan pemecahan kita. Saya harap supaya ”bagi pemeluk- pemeluknya” itu dihilangkan saja. Saya masih ragu-ragu di Indonesia banyak perpecahan-perpecahan, dan pada prakteknya maksudnya sama saja.

Kesaksian KH. Masjkur (anggota BPUPK yang juga Panglima Laskar Sabilillah) menceritakan pertemuan lima tokoh di akhir bulan Mei 1945, yang membahas tentang dasar negara yang akan diresmikan oleh BPUPK. Tim Arsip Nasional Republik Indonesia, dalam hal ini dilakukan oleh M. Dien Madjid, sempat melakukan wawancara kepada Kiai Masjkur. Berikut adalah transkripsi sejarah lisan yang disampaikan Kiai Masjkur tersebut:

“... di rumah Mohamad Yamin, saya, Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dari Yogyakarta. Bertiga, berempat dengan Yamin. Bung Karno datang. Kita berhenti omong-omong itu.
 Lantas Bung Karno tanya: ‘Ada apa?’
‘Kita ini ingin dasar Islam tetapi kalau dasar Islam, negara ini pecah. Bagaimana kira-kira bisa umat Islam bela tanah air, tapi tidak pecah.?’
Bung Karno katakan: ‘Coba kita tanya Yamin dulu, bagaimana Yamin dulu, tanah Jawa, tanah Indonesia ini?’
Yamin mengatakan: ‘Zaman dulu, orang Jawa punya kebiasaan. Apa kebiasaannya? Pergi di pinggir sungai, di pohon besar, semedi, menyekar, untuk minta sama Tuhan. Minta keselamatan, minta apa begitu.’
Lantas Bung Karno katakan: ‘Nah! Ini mencari Tuhan namanya. Jadi orang Indonesia dulu sudah mencari Tuhan, cuma tidak tahu dimana Tuhan dan siapa Tuhan itu. Pergi di pohon besar, pergi di kayu besar, pergi di batu-batu nyekar, itu mencari Tuhan,’ Kata Bung Karno, ‘Kalau begitu, negara kita dari dulu itu sudah Ketuhanan! Sudah Ketuhanan zaman Jawa itu, zaman Jawa itu zaman Ketuhanan. Ketuhanan! Bagaimana Islam? Ketuhanan! Kalau bangsa Indonesia bangsa Ketuhanan. Mufakat? Bangsa Ketuhanan. Tulis! Tulis! Ketuhanan. Lalu bagaimana selanjutnya bangsa Indonesia?” (Arsip Nasional Republik Indonesia, 1988).

Selanjutnya, kelima tokoh tersebut melanjutkan dialog dengan topik peri kemanusiaan yang adil dan beradab, sebagaimana percakapan berikut:

“Bangsa Indonesia itu satu sama lain begitu rupa, kalau datang dikasih wedang, kalau makan diajak makan. Pokoknya begitu toleransinya, begitu rupa, itulah bangsa Jawa dulu, sampai-sampai kalau sama-sama menemani.’
‘Kalau begitu,’ kata Bung Karno, ‘Bangsa Indonesia itu dulu bangsa yang peri kemanusiaan. Satu sama lain suka menolong. Kerjasama, perikemanusiaan.’
Lantas kita, sama Wahid Hasyim, kita ... ‘Kemanusiaan boleh, tapi mesti yang adil. Jangan sendiri boleh, tak diapa-apakan, kalau orang lain yang salah dihantam. Tidak adil itu. Kalau Siti Fatimah mencuri, saya potong tangannya: Siti Fatimah puteri Rasulullah. Jadi harus adil. Biar anaknya, kalau salah, ya salah. Dihukum bagaimana. Ini Islam. Ya benar, benar ini memang.
Lantas ada lagi. Bung Karno katakan: ‘Siapa dulu ...?
Kahar Muzakkir lontarkan: ‘Ada orang budayanya tidak mau dipersentuh tangannya dengan orang bawahan. Kalau beri apa-apa dilemparkan. Umpamanya orang bawahan, pengemis. Kasih uang, dilemparkan saja. Kalau dalam Islam tidak bisa. Di dalam Islam harus diserahkan yang baik. Jadi perikemanusiaan yang adil dan beradab. Adabnya ini tadi” (Arsip Nasional Republik Indonesia, 1988).

Cerita Kiai Masjkur kepada M. Dien Madjid (tim dari Arsip Nasional Republik Indonesia yang mewawancarai), berlanjut pada diskusi tentang gotong royong, musyawarah mufakat. Berikut adalah transkripsi dialog tersebut
“Lantas, sampai kepada orang Indonesia itu dulu, orang Jawa itu dulu, suka memberikan apa-apa sama tetangganya. Kalau rumah ini tak punya cabe, minta sama rumah sini, kalau tidak punya garam, minta sama rumah sini, kan begitu. Jadi orang Jawa dulu, kalau masak di rumah, minta garam pada tetangga ... ini diusulkan oleh Bung Karno ... ini namanya tolong-menolong. Gotong Royong. Lantas ada lagi, bangsa Jawa itu dulu, sampai kepada ada lima itu. Begini kalau ada apa, kumpul orang-orang desa itu. Satu sama lain tanya bagaimana baiknya begini, baiknya begini. Ini dikatakan oleh Bung Karno musyawarah. Jadi bangsa kita itu dulu suka musyawarah. Kalau mau kawinkan anaknya mufakatan, kalau mau menamakan anaknya dinamakan siapa mufakatan, yang diambil suara biasanya yang tertua. Bung Karno katakan musyawarah perwakilan. Lantas perkara orang Jawa itu dulu, diminta apa-apa, minta apa-apa dikasihkan. Sampaian minta apa, biar di sini habis, diberikan. Solidaritas sosialnya. Lalu ditanyakan kepada Islam. Islam memang zakat, kita kewajiban zakat, kita memberikan sama fakir miskin, yang kaya memberikan ke fakir miskin, jadi sampai kesimpulan lima itu” (Arsip Nasional Republik Indonesia, 1988).

Kesepakatan tentang lima dasar yang dikenal Pancasila itu juga diungkap oleh Kiai Masjkur, sebagai berikut:
“Kesimpulan lima tadinya mau ditambah, tapi kita umat Islam mengatakan, rukun Islam itu lima, jadi lima ini saja bisa dikembangkan satu per satu, tetapi jangan ditambah. Hitungannya supaya bisa lima. Ramai dari jam 7 malam sampai jam 4 pagi, sampai subuh. Ini dijadikan oleh Bung Karno Pancasila, menjadikan penggantinya dasar Islam negara. Kita umat Islam mengatakan kalau dasar Islam itu isimnya diambil, kalau Pancasila itu musamahnya(sic: musama) yang diambil. Sila-sila itu musamanya Islam. Lima ini kita umat Islam, ini sebagai musamanya, isi Islam, isim Islam, musamanya, Pancasila. Saya, Wahid Hasyim...” (Arsip Nasional Republik Indonesia, 1988).

Lalu, bagaimana sebenarnya argumentasi masing-masing kelompok tersebut? Pertanyaan ini membawa kita pada keharusan melakukan klasifikasi pemikiran tentang hubungan agama dan negara.
Sebagaimana yang lazim diketahui, dua pandangan tentang hubungan agama dan negara itu dibagi ke dalam dua kelompok. Pertama, kelompok yang menginginkan Indonesia tidak berdasarkan pada agama. Masuk dalam kelompok pertama ini adalah Soekarno, Hatta, Moh. Yamin, Achmad Soebarjo, A.A Maramis. dan lain sebagainya.

Kedua, kelompok yang menginginkan Indonesia berdasarkan Islam. Masuk dalam kelompok ini adalah Abdul Kahar Muzakkir, Agus Salim, Ki Bagus Hadikusumo, KH. Wahid Hasyim, M. Natsir, dan lain sebagainya. Tentu saja ada banyak tokoh lain, baik yang berada di kelompok pertama, maupun di kelompok kedua.
Yang akan menjadi fokus kita sekarang bukan nama-nama tokoh tersebut, tetapi bagaimana argumentasi dari masing-masing tokoh tersebut.




Kelompok Pertama: Nasionalis Sekuler

Kelompok ini memandang bahwa negara Indonesia tidak bisa didasarkan kepada agama, atau secara spesifik kepada Islam, meskipun pemeluk agama Islam di Indonesia memiliki jumlah terbanyak di antara agama-agama lain. Argumentasinya, adalah agama dan negara memiliki domain yang berbeda. Agama berkaitan dengan urusan pribadi dengan Tuhan Yang Maha Esa, memiliki kebenaran absolut, bersifat suci. Sementara negara menyangkut persoalan dunia dan kemasyarakatan. Karena itulah, bagi kelompok ini, negara tidak memiliki kewenangan untuk mengatur urusan internal agama masing- masing, apalagi memaksakan agama kepada warga negaranya.
Sebagaimana kita tahu, Indonesia memiliki banyak agama dan kepercayaan. Karena itu, menurut pandangan kelompok ini, perlu ada satu dasar yang dapat mewadahi, menampung, dan memfasilitasi keberadaan agama dan kepercayaan di Indonesia.
Soepomo secara cerdik membedakan “negara Islam” dengan “negara berdasar atas cita-cita luhur agama Islam”. Dalam negara Islam, negara tidak dipisahkan dari agama, sehingga hukum syariat Islam yang merupakan perintah Allah juga dijadikan hukum negara. Soepomo kemudian menceritakan bahwa dalam sejumlah negara Islam seperti Mesir, Iran, dan Irak, masih muncul pertanyaan, apakah hukum syariat Islam bisa disesuaikan dengan hukum internasional atau tidak? Dalam keterangannya disebutkan, ada yang membolehkan menyesuaikan dengan hukum internasional, ada juga yang mengatakan tidak boleh.
Ini tentu berbeda dengan “negara berdasar atas cita-cita luhur agama Islam”, di mana syariat islam tidak menjadi ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dalam suatu negara, melainkan negara mengambil spirit dan semangat dari Islam. Karena itulah, Soepomo menolak gagasan negara Islam itu. Namun demikian, bukan berarti negara kita, demikian Soepomo menjelaskan, adalah negara “a-religius”, melainkan sebuah negara yang memelihara budi-pekerti kemanusiaan yang luhur, menjaga cita-cita moral rakyat Indonesia. Budi pekerti kemanusiaan yang luhur itu juga yang dianjurkan oleh Islam.
Jika Islam menjadi dasar negara, itu sama saja dengan menjadikan Islam sebagai ideologi. Soekarno menentang hal ini. Soekarno mengagumi Turki yang dipimpin oleh Mustafa Kemal Attaturk, yang disebut Soekarno sebagai langkah modern dan revolusioner karena ia memisahkan agama dan negara.

“Agama dijadikan urusan perorangan. Bukan Islam itu dihapuskan oleh Turki, tetapi Islam itu diserahkan kepada manusia-manusia Turki sendiri, dan tidak kepada negara,” tulis Sukarno dalam artikelnya berjudul “Apa Sebab Turki Memisahkan Antara Agama dan Negara” yang termuat dalam salah satu edisi surat kabar Pandji Islam tahun 1940.

Kelompok Kedua: Nasionalis-Islam

Sementara kelompok kedua berpandangan bahwa Islam bukan saja mencakup moral, tetapi juga berkaitan dengan sosial dan politik. Islam tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan manusia. Lebih dari itu, dalam pandangan M. Natsir, Islam adalah agama mayoritas bangsa Indonesia sehingga Islam perlu menjadi dasar negara.
Menurut Natsir, Islam memiliki nilai-nilai sempurna bagi kehidupan bernegara dan dapat menjamin keragaman hidup antar berbagai golongan dengan penuh toleransi. Bahkan, jikapun Islam tidak menjadi dasar negara, bagi Natsir tidaklah masalah, dengan catatan hukum Islam dapat diterapkan. “Negara bukanlah tujuan, melainkan hanyalah alat untuk mewujudkan ajaran-ajaran Islam,” tulis Natsir dalam Pandji Islam (15 Juli 1940).
Sejumlah argumen untuk mendukung perlunya menjadikan Islam sebagai dasar negara banyak merujuk kepada sejumlah ayat dalam al-Qur’an, sekaligus juga praktik yang dilakukan oleh Nabi Muhammad, terutama di Madinah.
Islam, menurut Ki Bagus Hadikusumo, mengajarkan empat perkara, yakni iman, ibadah, amal saleh, dan berjihad di jalan Allah. Apabila keempat ajaran ini diterapkan dengan sungguh-sungguh di Indonesia, kata Ki Bagus, “[...] alangkah sentosa, bahagia, makmur, dan sejahteranya negara kita ini.”

Rangkuman
  1. Dalam sidang BPUPK, teradapat perbedaan pendapat di antara para pendiri bangsa mengenai pandangan terhadap agama dan dasar negara. Soerkarno dan Hatta setuju untuk memisahkan agama dan negara. Sementara itu, beberapa tokoh lainnya, seperti Moh. Natsir, Ki Bagus Hadikusumo, dan KH. Wahid Hasyim memandang bahwa Islam harus menjadi dasar negara.
  2. Perdebatan antar-pendiri bangsa tentang posisi agama Islam sebagai dasar negara, sempat berpotensi penyebab terjadinya perpecahan.
  3. Bagi kelompok nasionalis-sekuler, agama dipandang sebagai permasalahan individu yang tidak dapat dijadikan patokan untuk bernegara meskipun Indonesia memiliki masyarakat muslim sebagai mayoritas.
  4. Di lain sisi, kelompok nasionalis-Islam berargumentasi bahwa nilai-nilai di Islam mencakup moral, sosial, dan politik sehingga baik diterapkan di Indonesia yang kebetulan mayoritas masyarakatnya adalah muslim.



Featured Post

12 Langkah Proses Membuat Kain Batik Tulis!

12 Langkah Proses Membuat Kain Batik Tulis! Oleh : Ucke Rakhmat Gadzali, S.Pd. Kain batik tulis merupakan warisan budaya tradisional Indones...