Dinamika Perumusan Pancasila
Perdebatan mengenai hubungan antara agama dan negara turut mewarnai sidang BPUPK kala itu. Para pejuang dan pendiri bangsa Indonesia berbeda pendapat soal ini. Sebagian menghendaki Islam menjadi dasar negara, sebagian lainnya berpandangan bahwa negara Indonesia tidak perlu menjadikan agama sebagai dasar negara. Soekarno dan Hatta, misalnya, adalah tokoh yang berpandangan bahwa negara Indonesia tidak dapat didasarkan kepada Islam. Sementara itu, Moh. Natsir, Ki Bagus Hadikusumo, dan KH. Wahid Hasyim memandang bahwa Islam harus menjadi dasar negara.
Untuk mengatasi perbedaan pendapat tersebut, sebagai bagian dari demokrasi serta untuk menghindari perpecahan, maka dicarikan titik temu dalam Panitia Sembilan yang dibentuk setelah sidang pertama BPUPK. Setelah melewati diskusi panjang, akhirnya Panitia Sembilan menyepakati preambule yang disampaikan oleh Soekarno, selaku ketua Panitia Sembilan, dalam sidang BPUPK kedua pada 10 Juli 1945. Preambule ini merupakan persetujuan bersama antarkalangan yang semula berbeda pendapat. Ini adalah potret sebuah proses demokrasi yang indah. Perdebatan dan perbedaan pendapat bukanlah sesuatu permusuhan, melainkan bagian dari ihktiar bersama untuk mencari rumusan dasar negara Indonesia yang tepat.
Berikut bunyi preambule yang dibacakan oleh Soekarno:
"Pembukaan: bahwa sesungguhnja kemerdékaan itu jalah hak segala bangsa, dan oléh sebab itu maka pendjadjahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan. Dan perdjuangan pergerakan kemerdékaan Indonésia telah sampai kepada saat jang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakjat Indonésia kedepan pintu gerbang Negara Indonésia jang merdéka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat Rahmat Allah Jang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaja berkehidupan kebangsaan jang bébas, maka rakjat Indonésia menjatakan dengan ini kemerdékaannja. Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia Merdéka jang melindungi segenap bangsa Indonésia dan seluruh tumpah-darah Indonésia, dan untuk memadjukan kesedjahteraan umum, mentjerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia jang berdasarkan kemerdékaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdékaan kebangsaan Indonésia itu dalam suatu hukum dasar Negara Indonésia jang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonésia, jang berkedaulatan rakjat, dengan berdsarkan kepada: ke-Tuhanan, dengan kewadjiban mendjalankan sjari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknja, menurut dasar kemanusiaan jang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakjatan jang dipimpin oleh hikmat kebidjaksanaan dalam permusjawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakjat Indonesia".
Namun, tak cukup sampai di situ. Preambule tersebut, rupanya masih menjadi polemik di kalangan pendiri bangsa. Mohammad Hatta, misalnya, tetap berpandangan bahwa Islam tidak perlu menjadi dasar negara secara formal. Islam tetap menjadi semangat dan dasar moral.
Akhirnya, dalam sidang PPKI pada 18 Agustus 1945, tujuh kata dalam preambule, “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk- pemeluknya” dihapuskan. Alasannya, terdapat keberatan dari satu kelompok anak bangsa terkait dengan tujuh kata dalam Preambule tersebut. Demi menjaga keutuhan bangsa, akhirnya, Moh. Hatta mendiskusikan tentang rencana penghapusan tersebut kepada tokoh Islam, seperti Ki Bagus Hadikusumo dan K.H.A. Wachid Hasyim.
Saat mengetahui keberatan dan potensi perpecahan, Ki Bagus Hadikusumo dan K.H.A. Wachid Hasyim--sebagai representasi dari 2 organisasi Islam terbesar: Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama--pun setuju dengan penghapusan tujuh kata tersebut. Ki Bagus Hadikusumo, misalnya, mengatakan:
“... di rumah Mohamad Yamin, saya, Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dari Yogyakarta. Bertiga, berempat dengan Yamin. Bung Karno datang. Kita berhenti omong-omong itu.– Lantas Bung Karno tanya: ‘Ada apa?’– ‘Kita ini ingin dasar Islam tetapi kalau dasar Islam, negara ini pecah. Bagaimana kira-kira bisa umat Islam bela tanah air, tapi tidak pecah.?’– Bung Karno katakan: ‘Coba kita tanya Yamin dulu, bagaimana Yamin dulu, tanah Jawa, tanah Indonesia ini?’– Yamin mengatakan: ‘Zaman dulu, orang Jawa punya kebiasaan. Apa kebiasaannya? Pergi di pinggir sungai, di pohon besar, semedi, menyekar, untuk minta sama Tuhan. Minta keselamatan, minta apa begitu.’– Lantas Bung Karno katakan: ‘Nah! Ini mencari Tuhan namanya. Jadi orang Indonesia dulu sudah mencari Tuhan, cuma tidak tahu dimana Tuhan dan siapa Tuhan itu. Pergi di pohon besar, pergi di kayu besar, pergi di batu-batu nyekar, itu mencari Tuhan,’ Kata Bung Karno, ‘Kalau begitu, negara kita dari dulu itu sudah Ketuhanan! Sudah Ketuhanan zaman Jawa itu, zaman Jawa itu zaman Ketuhanan. Ketuhanan! Bagaimana Islam? Ketuhanan! Kalau bangsa Indonesia bangsa Ketuhanan. Mufakat? Bangsa Ketuhanan. Tulis! Tulis! Ketuhanan. Lalu bagaimana selanjutnya bangsa Indonesia?” (Arsip Nasional Republik Indonesia, 1988).
– “Bangsa Indonesia itu satu sama lain begitu rupa, kalau datang dikasih wedang, kalau makan diajak makan. Pokoknya begitu toleransinya, begitu rupa, itulah bangsa Jawa dulu, sampai-sampai kalau sama-sama menemani.’– ‘Kalau begitu,’ kata Bung Karno, ‘Bangsa Indonesia itu dulu bangsa yang peri kemanusiaan. Satu sama lain suka menolong. Kerjasama, perikemanusiaan.’– Lantas kita, sama Wahid Hasyim, kita ... ‘Kemanusiaan boleh, tapi mesti yang adil. Jangan sendiri boleh, tak diapa-apakan, kalau orang lain yang salah dihantam. Tidak adil itu. Kalau Siti Fatimah mencuri, saya potong tangannya: Siti Fatimah puteri Rasulullah. Jadi harus adil. Biar anaknya, kalau salah, ya salah. Dihukum bagaimana. Ini Islam. Ya benar, benar ini memang.– Lantas ada lagi. Bung Karno katakan: ‘Siapa dulu ...?– Kahar Muzakkir lontarkan: ‘Ada orang budayanya tidak mau dipersentuh tangannya dengan orang bawahan. Kalau beri apa-apa dilemparkan. Umpamanya orang bawahan, pengemis. Kasih uang, dilemparkan saja. Kalau dalam Islam tidak bisa. Di dalam Islam harus diserahkan yang baik. Jadi perikemanusiaan yang adil dan beradab. Adabnya ini tadi” (Arsip Nasional Republik Indonesia, 1988).
“Lantas, sampai kepada orang Indonesia itu dulu, orang Jawa itu dulu, suka memberikan apa-apa sama tetangganya. Kalau rumah ini tak punya cabe, minta sama rumah sini, kalau tidak punya garam, minta sama rumah sini, kan begitu. Jadi orang Jawa dulu, kalau masak di rumah, minta garam pada tetangga ... ini diusulkan oleh Bung Karno ... ini namanya tolong-menolong. Gotong Royong. Lantas ada lagi, bangsa Jawa itu dulu, sampai kepada ada lima itu. Begini kalau ada apa, kumpul orang-orang desa itu. Satu sama lain tanya bagaimana baiknya begini, baiknya begini. Ini dikatakan oleh Bung Karno musyawarah. Jadi bangsa kita itu dulu suka musyawarah. Kalau mau kawinkan anaknya mufakatan, kalau mau menamakan anaknya dinamakan siapa mufakatan, yang diambil suara biasanya yang tertua. Bung Karno katakan musyawarah perwakilan. Lantas perkara orang Jawa itu dulu, diminta apa-apa, minta apa-apa dikasihkan. Sampaian minta apa, biar di sini habis, diberikan. Solidaritas sosialnya. Lalu ditanyakan kepada Islam. Islam memang zakat, kita kewajiban zakat, kita memberikan sama fakir miskin, yang kaya memberikan ke fakir miskin, jadi sampai kesimpulan lima itu” (Arsip Nasional Republik Indonesia, 1988).
- Dalam sidang BPUPK, teradapat perbedaan pendapat di antara para pendiri bangsa mengenai pandangan terhadap agama dan dasar negara. Soerkarno dan Hatta setuju untuk memisahkan agama dan negara. Sementara itu, beberapa tokoh lainnya, seperti Moh. Natsir, Ki Bagus Hadikusumo, dan KH. Wahid Hasyim memandang bahwa Islam harus menjadi dasar negara.
- Perdebatan antar-pendiri bangsa tentang posisi agama Islam sebagai dasar negara, sempat berpotensi penyebab terjadinya perpecahan.
- Bagi kelompok nasionalis-sekuler, agama dipandang sebagai permasalahan individu yang tidak dapat dijadikan patokan untuk bernegara meskipun Indonesia memiliki masyarakat muslim sebagai mayoritas.
- Di lain sisi, kelompok nasionalis-Islam berargumentasi bahwa nilai-nilai di Islam mencakup moral, sosial, dan politik sehingga baik diterapkan di Indonesia yang kebetulan mayoritas masyarakatnya adalah muslim.
No comments:
Post a Comment