Sunday, March 3, 2024

Stereotip, Diskriminasi, dan Bullying


Stereotip 

Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Jumalis Walter Lippmann (1992), yang dimaknai sebagai the little pictures we carry around inside our head, di mana gambaran gambaran tersebut merupakan skema mengenai kelompok. "Manstead dan Hewstone mendefinisikan stereotip sebagai societally shared beliefs about the characteristics (such as personality traits, expected behaviors, or personal values) that are perceived to be true of  social groups and their members" (keyakinan tentang karakteristik seseorang (seperti ciri kepribadian, perilaku, nilai pribadi) yang diterima sebagai kebenaran kelompok sosial. Stereotip adalah proses kognitif, bukan emosional, sehingga ia tidak selalu mengarah kepada tindakan yang sengaja dilakukan untuk melecehkan. Stereotip ini seringkali digunakan untuk menyederhanakan dunia tanpa melihat perbedaan-perbedaan yang detail di dalamnya. Contohnya, seseorang akan terkejut jika menjumpai sopir taksi perempuan, karena profesi sopir taksi biasanya dijalankan oleh laki-laki. 

Prasangka atau Prejudice 

Penilaian yang telah dimiliki sebelumnya terhadap suatu kelompok dan masing-masing anggota kelompoknya. Pada dasarnya, prasangka bisa bersifat positif, bisa pula bersifat negatif. 

Diskriminasi 

Diskriminasi merupakan perilaku negatif atau membahayakan terhadap anggota kelompok tertentu semata-mata karena keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut. Swim (dalam (Byrne, 1991) menyatakan bahwa diskriminasi adalah tindakan negatif terhadap orang yang menjadi obyek prasangka seperti rasial, etnik, agama, sehingga dapat dikatakan bahwa diskriminasi adalah prejudice in action. 

Perundungan 

Istilah “bully” dalam Bahasa Inggris bermakna menggertak atau menindas. Kata bullying ini diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan perundungan. Secara sederhana, perundungan merupakan segala bentuk penindasan atau kekerasan yang dilakukan dengan sengaja oleh satu orang atau sekelompok orang yang lebih kuat atau berkuasa terhadap orang lain, dengan tujuan untuk menyakiti dan dilakukan secara terus menerus. Perundungan biasanya dibagi ke dalam 3 (tiga) jenis; fisik, verbal, dan mental.



Interaksi Budaya Nusantara di Kancah Dunia


  Globalisasi yang ditandai dengan perkembangan teknologi informasi membuat dunia seakan tidak berjarak (borderless). Globalisasi membuat batas teritorial negara seolah tidak ada lagi. Globalisasi membuat negara-negara di dunia menjadi semacam global village (desa buana), di mana satu negara dengan negara lain saling terhubung dan saling berinteraksi. Dengan perkembangan teknologi informasi yang sangat maju, suatu peristiwa atau kejadian di suatu negara dapat diketahui secara cepat di belahan bumi lain. Perkembangan teknologi informasi dan juga transportasi meniscayakan seseorang atau sekelompok orang berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain dari berbagai belahan dunia. Hal ini membawa konsekuensi adanya pertukaran budaya di kancah global (internasional). Siapa pun orangnya tidak dapat lepas dari budaya tempat ia dilahirkan dan dibesarkan. Dengan budaya yang mengakar di dalam dirinya, ia harus berbagi ruang dengan orang lain dari budaya lain. Pertukaran budaya tersebut sangat mungkin berpotensi menimbulkan konflik. Konflik dapat dicegah dengan munculnya kesadaran bahwa setiap orang harus mampu dan mau memahami budaya orang lain yang berbeda dengannya. Cara berkomunikasi sendiri sangat dipengaruhi oleh budaya masing masing. Oleh karenanya, dalam berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya, dibutuhkan pemahaman lintas budaya (cross-cultural understanding). 

 Sebagai bagian dari komunitas global, Indonesia tentu saja tidak dapat menghindarkan diri dan menutup/mengisolasi diri dari bangsa dan negara lain. Perjumpaan dan interaksi dengan bangsa-bangsa lain merupakan suatu keniscayaan bagi bangsa mana pun, termasuk Indonesia. Adanya globalisasi meniscayakan hilir mudiknya budaya lain dari satu negara ke negara lain sehingga berpotensi mempengaruhi budaya negara setempat. Tidak ada satu pun bangsa yang hidup tanpa pengaruh dari luar.

 Sebagai bangsa yang besar, kita harus memiliki kelenturan budaya, sehingga mampu mengadaptasi budaya-budaya luar yang baik dan sesuai dengan jati diri bangsa. Berbagai budaya luar yang baik dan sesuai dengan jati diri bangsa dapat memperkaya nilai-nilai dan kearifan lokal bangsa Indonesia. Ketidakmampuan beradaptasi dengan budaya luar akan menjadikan Indonesia terperosok ke dalam kekerdilan identitas. Sebaliknya, terlalu terobsesi dengan budaya luar dan mengabaikan tradisi dan nilai-nilai lokal akan menjadikan Indonesia kehilangan identitas nasionalnya. Jika demikian yang terjadi, maka bangsa Indonesia tidak akan pernah mampu berdikari secara kultural dan menjadi diri sendiri. Sebagai bangsa yang besar, kita harus mampu bergaul secara global dengan bangsa dan negara lain tanpa kehilangan identitas keindonesiaan kita. Berpikir global bertindak lokal (think globally act locally) merupakan adagium dan sikap moderat yang tepat bagi bangsa Indonesia dalam menghadapi globalisasi. 

  Melestarikan apa yang baik dan mengadopsi hal-hal yang lebih baik dari bangsa lain, merupakan sikap cerdas dan bijaksana. Sebaliknya, menolak atau meniru secara membabi buta apa saja dari luar, bukanlah sikap bijak. Tidak semua yang berasal dari luar itu baik dan juga tidak semua yang berasal dari luar itu buruk. Kita ambil yang baik dari mereka (baca: bangsa luar) sembari mempertahankan dan melestarikan tradisi dan nilai-nilai kearifan lokal bangsa Indonesia. Kendati setiap bangsa memiliki keunikan budaya dan tradisi masing-masing, tetapi tidak menutup kemungkinan bekerja sama dan berkolaborasi secara global untuk keadilan dan penciptaan dunia yang lebih aman dan manusiawi.

Featured Post

Komposisi Musik dan Progresi Akor

Contoh Siswa Menciptakan Lagu Komposisi Musik Menurut Kusumawati (2004: ii), komposisi merupakan proses kreatif musikal yang melibatkan bebe...